Karena Mimpi Kuliah Lagi Tak Akan Kunjung Terwujud Jika Masih Mengejar Beasiswa Pemerintah

Siapa sih yang nggak pengen lanjut kuliah lagi ? Aku, yang berprofesi sbg ibu rumah tangga aja pengen. Apalagi bagi kamu dan kamu yang berkecimpung di dunia akademis, bisnis, hukum, dan sebagainya, pasti juga pengen tho? Kalau nggak pengen mah berarti kamuuu, ya memang nggak pengen. Nggak pengen karena sudah nyaman di posisi sekarang. Nggak pengen karena memang sudah kuliah sampek S3. Nggak pengen karena ingin fokus mencari jodoh, dan nggak pengen karena tidak ada biaya.

Nah yang paling sering aku dengar adalah nggak pengen karena nggak ada biaya. Atau pengen tapi nggak ada biaya. Itu tuh. Alasan itulah yang sering aku dengar.

Bagi yang memiliki alasan seperti itu, biasanya, satu-satunya cara adalah dengan berjuang mendapatkan beasiswa. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkan beasiswa pun sama seperti tips ini, Untuk Para Pejuang Beasiswa , atau tips yang bertebaran di google. Sama. Hasilnya ? Mungkin ada yang berhasil mendapatkan beasiswa tapi juga ada yang nggak dapat beasiswa yang diincar. Apalagi yang diincar beasiswa dalam negeri. Apalagi beasiswa yang diincar adalah beasiswa dari pemerintah. Apalagi beasiswa dari pemerintah tersebut dikhususkan untuk rakyat tidak mampu. Beuuugghh. Jangan terlalu berharap deh. Karena berakibat pada yang namanya gigit jari.

Mengapa begitu ? Ya memang begitu. Sudah jadi rahasia umumlah yah kalau segala hal yang berhubungan dengan rakyat terutama kaum marjinal pasti nggak bener. Begitu juga dengan beasiswa dari pemerintah yang katanya untuk rakyat yang berprestasi, yang katanya untuk rakyat yang tidak mampu, eeee nyatanya ? Prakteknya ? Tidak begitu.

Aku pernah tahu hal ini. Waktu aku masih jadi guru sekolah menengah. Eh bukan aku aja sih yang tahu, temen-temenku ngajar juga tahu koq. Bahwa penerima beasiswa dari pemerintah yang untuk rakyat berprestasi dan tidak mampu itu, sebagian berisi anak-anak oknum pns. Noh. Perih kan ? Sudah susah-payah berjuang, eee yang dapet malah yang sono.

Ada sih cara yang cukup ampuh untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Dan cara ini pun digunakan hampir di segala lini. Dimanapun berada. Dimanapun dunianya, pasti pakai cara ini. Apakah itu ? Minta bantuan orang dalam. Nah kalau sudah minta bantuan orang dalam maka harus menyiapkan 'mahar' yang biasanya berupa uang. Tuh. Ujung-ujungnya duit lagi kan? Lagi-lagi duit.

Memang sih, beasiswa dari pemerintah yang biasanya bekerja sama dengan kampus-kampus dalam negeri, amat menggiurkan. Apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Karena tidak perlu terpisah jarak yang sangat jauh dari keluarga. Tapi kalau harus menghadapi hal seperti di atas, rasanyaaaa nggak lah yah. Karena apa ?

Pertama : peluang untuk mendapat kan beasiswa dari pemerintah memang ada. Tapi kapan ? Mau sampai kapan berjuang dan menunggu. Bukannya menunggu itu hal yang paling nggak enak dan membosankan kan ?.

Kedua : bisa aja sih minta bantuan orang dalam. Tapi apa mau nanti ilmunya jadi nggak berkah ? Hayo ? Hiiiiii.

Kalau aku mah nggak ah. Nggak mau menunggu kesempatan dapat beasiswa itu datang menghampiri dan nggak mau juga nggak dapat berkah. Takuuuttt. Aku lebih memilih untuk membayar kuliah secara mandiri. Ini bukan berarti aku punya uang buat kuliah S2 ya ? Nggak. Nggak punya. Aku hutang. Alhamdulillah ada keluarga yang mau meminjamkan uang untuk aku gunakan kuliah S2 dan bisa aku cicil semampuku tanpa batas waktu dan tanpa bunga. Alhamdulillah banget.

Selain dapat pinjaman dari keluarga, aku juga sudah menyiapkan tabungan. Tabungan dari hasil menjual motor. Untuk apa ? Ya untuk jaga-jaga. Kalaupun tabungan ini tidak terpakai, maka nanti, setelah selesai kuliah, akan aku gunakan untuk membayar hutang.

Bagiku, investasi ilmu lebih penting dari motor. Harga motor terus turun dan juga ada masa ausnya, sementara ilmu ? Awet. Asal tidak terkena pikun atau amnesia saja.

Jadi nih, kamu, iya kamu, yang pengen kuliah tapi masih melangkah di situ-situ saja (berjuang mendapatkan beasiswa), sudah, sudahi saja. Ganti arah langkah. Bisa pakai cara aku. Atau cara kamu sendiri yang sesuai dengan kondisimu sendiri. Bulatkan tekad untuk bisa kuliah lagi dengan biaya sendiri.  Bukankah mandiri itu lebih enak ya ? Iyakan. Tidak terikat pada si pemberi beasiswa (dalam hal ini adalah pemerintah). Tidak ribet, karena harus mengurus ini itu, harus begini begitu. Tidak merasa dikejar-kejar target karena biasanya ada tugas (beban) yang diletakkan di pundak penerima beasiswa. Membentuk pribadi yang tangguh, kaya pengalaman, bisa merasakan itu, nikmatnya kuliah lagi dengan jerih payah sendiri dan lebih KEREN donk pastinya yak.

Pilih Dia, Laki-laki yang Disukai Orangtua atau Dia, Si Kekasih Hati ?

Hai

Kalian pernah terjebak dengan pilihan seperti itu nggak ? Aku pernah. Dan rasanyaaaaa...yo kudu ngguyu. Tapiiiii.,,yang paling utama yo aku nggak nyangka. Koq bisa-bisanya gitu aku yang tomboi bin nggak pernah dandan bin tampang biasa aja dan jarang banget bertingkah manis nan manja plus dari keluarga sederhana ini, jadi rambutan, eh rebutan. Apa coba yang diperebutkan ? Heran aku. Beneran. La wong aku juga bukan kembang desa koq.
Trs kembang pasir ?
Bukanlah, enak aja
Aku kan gadis biasa aja. Biasa banget. Biasaaaaa..ssaaaa..ssaaaa..

Asli, nggak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku bahwa aku, suatu saat, akan mengalami hal ini, jadi rebutan seperti ini. Nggak pernah. La wong jadi jomblo aja lama. Masa jombloku baru berakhir saat aku berusia 20 tahun. Noh lama kan ? Mengapa bisa selama itu ? Mungkin pria yang menembakku itu, baru menyadari bahwa sesungguhnya aku adalah gadis yang amat mempesona. Hahayyyy.
#SebarKantongKresekBuatMuntah.

Pria yang membuatku mengakhiri masa jombloku itulah yang kemudian menjadi kekasih hati. Bukan berstatus pacar. Tapi kekasih hati. Bahkan sudah aku nobatkan menjadi kandidat utama calon suami. Karena dari 10 kriteria calon suami yang aku buat, 8 poin sudah ada padanya. Ia hanya belum lulus dari segi kemapanan dan restu orangtua.

Usut punya usut, ternyata, alasan orangtuaku belum memberi restu karena dia, si kekasih hatiku itu, belum mapan. Sudah. Itu saja.

Bagiku, wajar jika kemapanan menjadi salah satu faktor pertimbangan bagi beliau beliau. Wajar. Orangtua mana sih yang nggak ingin masa depan si anak bahagia seutuhnya? Nggak ada kan ?.

Di satu sisi, aku sangat menjunjung tinggi 'keelokan pribadi, kecakapan ilmu pengetahuan, saling mengenal saling menerima dan punya banyak stok cinta  untukku' yang ada pada pada kekasih hatiku. Namun di sisi lain, aku juga memikirkan kemapanan dan restu orangtua.

So aku pun....
DILEMA.

Jika aku memilih kekasih hati untuk menjadi suami, maka aku akan terbentur dengan kemapanan dan restu orangtua. Kalau soal mapan, tidak terlalu masalah. Tapi bagaimana dengan restu orangtua ? Ridho ortu = Ridho Allah. Kalau melanggar restu orangtua, bisa jadi kami akan terbentur dengan ini atau itu.

Kemudian, jika aku memilih laki-laki yang disukai orangtua, maka bisa jadi aku terbentur dengan...entahlah..karena aku belum betul-betul mengenalnya.

Sama-sama menimbulkan benturan. Sama-sama..hhhhhh...
Asli. Dilema banget waktu itu.

Tak sanggup menopang dilema sendirian, aku memutuskan untuk mengatakan semua yang aku rasakan kepada kekasih hatiku.

Semula, aku pikir, mungkin ia akan marah, tak terima bahkan memutuskan hubungan, karena dengan lancangnya aku sudah membandingkan hubungan kami yang terjalin bertahun-tahun dengan hubunganku dengan seseorang yang baru berjalan 1 bulan. Tapi, ternyata, ia...

Tidak demikian. Ia malah memberikan jawaban seperti ini :
"Mas nggak akan nyerah".

Jawaban yang bikin aku klepek-klepek. Jawaban yang bikin aku berhenti...berhenti untuk dilema. Lalu mengganti rasa dilema dengan semangat berjuang mendapatkan restu orangtua.
#SingsingkanLenganBaju.

Alhmdulillh, setahun kemudian, restu orangtua berhasil kami dapatkan. Dan tentu saja, restu tersebut mengantarkan kami untuk memenuhi separuh iman kami, alias menikah.

Ehem

Jadi seperti itulah, #CeritaDelima aku yang terjadi saat aku masih gadis dulu. Semoga bermanfaat ya. Terutama bagi kalian yang tengah dilema dikarenakan bingung memilih antara dia atau dia. :)

***

Lomba Blog “DILEMA”

Momen Tak Terlupakan

Entah apa yang merasuki pikiranku kala itu, hingga aku berani-beraninya berpikir bahwa Allah begitu tega dengan keluarga kecilku. Teganya Ia membiarkan si cobaan berlama-lama di langkah kecil kami tanpa ada jeda bahagia barang sebentar saja kepada keluarga kecilku. Allah 'segitunyaaa' dengan kami.

Cobaan yang Allah berikan bs dibilang cobaan klasik. Smua keluarga pernah menghadapinya. Hanya saja, untuk cobaan ekonomi yang menerpa keluarga kecilku sudah berjalan lama. Hampir 4 tahun. Bahkan kami pernah sampai pada titik menjual barang-barang kami hanya untuk makan. Ya, untuk makan.

Untuk menghadapi lalu keluar dari cobaan tersebut, suami pun berusaha mencari nafkah dengan bekerja lebih keras dari sebelumnya. Sementara aku berusaha membantu semampuku, sebisaku. Dengan mengikuti lomba atau quiz atau mengirimkan tulisan ke media, lebih giat ibadah juga bersedekah ala kadarnya dan satu lagi berdo'a.

Mungkin, jika mukenah yang aku pakai bisa bicara, ia tak mau dipakai olehku lagi. Karena ia selalu basah dengan air mata setiap sholat (kadang juga kena umbel). Iya, aku memohon kepada Allah untuk segera mencabut cobaan ekonomi ini dari keluargaku. Atau jika memang tak hendak dicabut, aku meminta kepada Allah untuk diberikan jalan petunjuk mendapatkan rejeki yang berupa uang. Selalu begitu, isi doaku.

Lambat laun, aku merasa, do'aku tersebut tak kunjung dikabulkan Allah. Kami tetap terseok-seok. Usaha yang aku lakukan tak juga berbuah manis. Tak ada kabar baik dari perlombaan, atau kuis yang aku ikuti, juga kabar dari media. Kami tetap terseok-seok. Bahkan mulai diselingi dengan pertengkaran-pertengkaran kecil antara aku dan suami.

Lalu pada pertengkaran yang kesekian kalinya, pada perut yang terisi air demi menahan lapar, pada deras air mata untuk yang kesekian kalinya juga, akhirnya, aku menyimpulkan bahwa Allah benar-benar tega. Dan kesimpulan tersebut berakhir pada lantunan do'a di tiap usai sholatku, yang berisi kalimat seperti ini :

"Allah, hamba pasrah, hamba pasrah padaMu, hamba tak tahu, tak tahu lagi bagaimana caranya agar bisa bertahan bahkan keluar dari cobaan yang Engkau berikan. Pasrah. Terserah padaMu. Hamba pasrah."

Do'a yang semula berisi permintaan untuk segera dicabut dari cobaan, berubah menjadi kepasrahan. Iya, itulah yang terjadi. Aku memilih pasrah. Memasrahkan segala hasil usahaku kepada-Nya. Terserah padaNya mau memberikan hasil apa atas usahaku. Entah hasilnya berupa kekalahan lagi, atau pengembalian naskah lagi, sudah tak jadi masalah lagi bagiku. Sudah tidak membuatku baper lagi, sudah tidak membuatku berpikir koq seperti itu yang menang, koq bgini, koq begitu, dan sudah tidak membuatku protes lagi padaNya, protes karena aku merasa seharusnya aku mendapatkan hadiah uang itu karena aku membutuhkannya untuk bertahan hidup. Tidak. Aku sudah tidak begitu lagi. Karena sudah tidak berasa. Tidak terasa apa-apa. Terserah.

Dengan berpikir seperti itu, dengan kepasrahan begitu, entah bagaimana, entah dari mana asal muasalnya, rasanya menenangkan. Aku merasa lebih tenang dalam mejalani kehidupan yang bertemankan cobaan. Selangkah, dua langkah, terasa ringan, tidak ngoyo lagi, tenaaannng. Berlangkah-langkah terus melangkah, satu bulan terlewati dengan kepasrahan yang menenangkan, dua bulan, tiga bulan,..., mendekati Ramadhan, Ramadhan tiba, pertengahan Ramadhan dan lalu langkahku sampai pada masa ini :

"Assalamualaikum, mohon kirimkan foto untuk pemuatan naskah nuansa wanita. Silakan cek email utk keterangan lebih lanjut. Majalah Ummi".

Kemudian disusul dengan kabar baik selanjutnya, trus begitu, begitu terus. Sampai saat ini. Alhamdulillah wa syukurillah. Wa la haulawala quwwata illah billahil'aliyyil 'adzim.

Subhanallah, Allah benar-benar mengabulkan doa-doaku. Bahwasanya prasangkaku pada-Nya sungguh prasangka tertolol yang pernah ada. Allah bukannya tega. Allah bukannya tidak mengabulkan doa. Tapi Allah tahu segalaNya. Allah punya maksud tersendiri. Allah tahu waktu yang tepat untuk mengabulkan doa. Allah tahu. Allah Maha Tahu.

Oleh sebab itu, jika aku ditanya soal momen apa yang tak terlupakan maka jawabanku adalah momen dimana doa-doaku dikabulkan oleh Allah Swt. Terutama di momen pertengahan Ramadhan tahun ini. Karena dengan mengingat momen tersebut, membuatku tetap berprasangka baik pada Nya. Terutama saat cobaan lain datang menerpa keluarga kecilku.

***
Seperti itulah momen yang paling berkesan dan tak terlupakan bagiku. Momen yang berkesan lainnya adalah saat pertama kali mampir ke blog mbk Irawati Hamid. Langsung terkesima dengan tulisan mbk ira yang enak bgd dibaca. Beda jauh sama tulisanku mah. hahayyy. Bukan hanya tulisannya yg cakep, mbk ira juga suka bw dan pasti kunbal.

Nah berubung bulan ini bertepatan dengan ultah mbk Ira juga ultah blognya, jadi aku mau ngucapin Met milad ya mbk Irawati Hamid, Wish You All The Best Yak, bahagia selalu amin amin ya robbal'alamin.

***
Tulisan ini diikutkan dalam Irawati Hamid First Giveaway “Momen yang Paling Berkesan & Tak Terlupakan” 

Facebook  Twitter  Google+ Yahoo

About Me

Halo Assalamu'alaikum, Aku Inda, guru tk. Aku  ibu dari dua bocil, ken dan yumna, yang suka menulis, suka kulineran, jalan-jalan...