Buk.
Apakah seperti ini yang engkau rasakan saat mengandungku
dulu?
Mual menghantui di awal semester dan langkah terasa begitu
berat saat tiba di akhir semester. Begitukah ibu ?
Apakah seperti ini yang kau rasakan saat dicekam kontraksi
?. Tulang belakang terasa ngilu luar biasa. Perut dipluntir-pluntir. Sakitnya
na’udzubillah. Hingga akhirnya suami menyerah dan memilih tindakan caesar.
Karena tak tega melihat kondisiku yang pontang panting kesakitan.
Lalu bagaimana denganmu ibu, yang melahirkanku dengan bobot
4.2 kg secara normal?.. Sedangkan aku, melahirkan normal bayi berbobot 4 kg
saja tak mampu.
Kau sungguh luar biasa ibu.
Ibu, aku ingat, kau pernah membagikan kiat suksesmu dalam
menghadapi proses melahirkan. Salah satunya dengan mengkonsumsi kuning telur
ayam kampung mentah. Dicampur dengan beberapa tetes jeruk nipis.
Aku melakukan itu ibu. Dan rasanya sulit diungkapkan dengan
kata-kata.
Saat kuning telur itu bersiap terjun ke tenggorokan, saat
itu pula terjadi penolakan. Dan akhirnya semuanya keluar.
Sementara kau ibu, berkali-kali minum ramuan yang alakazam
itu, demi sukses melahirkanku.
Ibu kau sungguh luar biasa.
Ibu kau pernah bercerita kepadaku tentang pertama kalinya
aku masuk rumah sakit dikarenakan demam tinggi hingga step. Dan dokter pun
sempat memvonis usiaku tak lama lagi. Aku tak berani membayangkan bagaimana
perasaanmu saat itu ibu.
Sementara aku, saat si kecil terserang sariawan saja sudah membuat
hatiku porak poranda. Melihatnya menangis setiap hendak menyusu.
Kau sungguh luar biasa ibu.
Ibu, kau juga pernah bercerita padaku saat bapak pergi
merantau. Katamu, waktu itu aku dan adikku masih kecil. Namun karena kondisi
ekonomi saat itu belum begitu baik, jadi kau mengikhlaskan bapak merantau. Kau
mengambil alih semua peran. Kau menjaga, membimbing, merawat, dan melindungiku
juga adikku.
Sementara aku, ditinggal suami barang 7 hari saja sudah
membuatku mengharu biru.
Ibu kau sungguh luar biasa.
Ibu, kau memang telah mengikhlaskan bapak pergi merantau
untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Namun hal itu tentu saja tak semerta-merta
dapat terjadi. Begitu bapak merantau, maka seketika itu pula ekonomi keluarga akan
membaik. Katamu, ternyata tidak demikian. Di luar prediksi. Gaji bapak hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhannya di tanah rantau, mungkin adalah sedikit yang
bisa bapak bagi kepada ibu. Dan tentu saja tidak cukup memenuhi kebutuhan kami.
Jadi kau pun mulai membuat es lilin yang dititipkan di
sekolah-sekolah. Kau juga membuat beberapa bungkus nasi kuning yang juga engkau
titipkan di kantin-kantin sekolah dan sore harinya kau akan mengajar ngaji di
rumah. Ya, ibu membuka semacam TPQ sederhana di rumah, dengan maksud bisa
sambil menjagaku dan adikku.
Ibu, demi membeli susu, demi gizi kami, kau melakukan hal
demikian. Seperti tak ada lelah, setiap hari kau melakukan aktivitas itu. Tak
ada keluh kesah.
Ibu kau sungguh luar biasa
Ibu setiap kali aku mendengarkan engkau berkisah tentang
pengalamanmu saat membesarkanku juga adikku, seketika itu pula rasa kagum
menjalariku. Dan saat ini, saat aku juga telah menjadi seorang ibu,
kisah-kisahmu menjadi teladanku. Kisah-kisahmu membuatku begitu takjub akan
ketangguhanmu, kesabaranmu, kehebatanmu dalam membesarkanku juga adikku.
Sayangmu yang teramat dalam kepada kami, membuatmu memampukan diri, menguatkan
hati, menaklukan ego, meredam rasa sakit. Semua itu kau lakukan demi
anak-anakmu.
Melihat apa yang telah para ibu lakukan untuk anak-anaknya.
Pantas saja Nabi amat memuliakan kedudukan seorang ibu. Sebagaimana dikemukakan
dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ،
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ،
قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ
أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ،
قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata,
“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi
shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali
bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no. 5971
dan Muslim no. 2548)