Hari ini aku terlambat ikut kelas mata kuliah filsafat. Bukan karena aku bangun terlalu siang melainkan karena ada demo buruh besar-besaran.
Heran deh, perasaanku mereka demo melulu. Tuntutannya pun sama. Apalagi kalau bukan minta naik gaji. Mbok ya bersyukur sudah dapat gaji dhuwur. Banyak loh yang mendapatkan penghasilan di bawah gaji buruh tapi nggak pernah tuh demo-demo yang kadang sampai rusuh.
Duh, gara-gara demo nih, mood aku jadi berantakan. Pokoknya seumur hidup, aku enggak mau berurusan dengan yang berbau-bau demo, aktivis, atau apalah itu, aku nggak mau.
Karena sudah jauh terlambat. Aku duduk-duduk di kantin kampus sambil baca novel Mariposa.
"Baca novel cinta lagi?"
Aku menoleh ke sumber suara dan Devdan berdiri tak jauh dari tempat dudukku. Seketika aku memalingkan wajah. Aku malas berurusan dengan kakak tingkat yang mau kadaluarsa.
"Dih suka-suka aku lah, apa? Kamu mau minta tolong lagi? Ini sudah kelima kalinya loh, Kak"
"Yup, saya mau minta tolong seperti biasa"
"Ke Bu Marni?"
"Ya, tolong berikan hp ini ke Bu Marni, biar gampang kalau saya mau komunikasi ke Bu Marni, jadi saya nggak harus ke rumah Bu Marni atau minta bantuan kamu menyampaikan pesan ke Bu Marni lagi"
"Bagus deh, ya udah entar aku sampaikan ke Bu Marni"
"Makasih, ya" aku mengangguk. Dev lalu pergi.
Bu Marni adalah tetangga 5 langkah dari kosku. Bu Marni seorang single mother dengan 1 anak perempuan. Saat ini ia sedang terbaring di rumahnya karena menderita kanker.
Aku prihatin dengan kondisi Bu Marni. Pabrik tempatnya bekerja tidak mau memberikan hak Bu Marni berupa pesangon pensiun. Padahal Bu Marni berencana menggunakan pesangon tersebut untuk mengobati kanker yang dideritanya.
Pokoknya kalau ingat Bu Marni, aku selalu berdo'a, semoga Allah mempermudah usahanya untuk sembuh dari sakit yang ia derita. Semangat ya, Bu Marni.
***
Pyuuuhhhh....
Aku menghempaskan tubuhku di kasur khas anak kos. Lumayan berhasil menghilangkan rasa lelahku hari ini. Bayangkan, dua kali dalam sehari, aku terjebak macet. Lagi-lagi, karena demo. Duuhh, lama-lama aku benar-benar muak dengan demonstrasi. Pengin tak hiiihhhh.
Sebelum pulang ke kos, aku tadi sempat singgah ke rumah Bu Marni dan disambut oleh anak tunggal Bu Marni yang bernama Ika.
"Ka, ada titipan dari Dev buat Ibu kamu" aku menyerahkan tas kecil ke Ika.
"Kata Dev, biar mudah komunikasi sama Ibu" jelasku. Ika sibuk membuka tas kecil lalu mengeluarkan isi didalamnya yakni sebuah hp.
"Kak Dev ngasih hp? enggak salah nih, Kak?" Ika nampak kaget. Aku menganggukkan kepala saat Ika menoleh padaku. Lalu ia pun kembali fokus pada hp pemberian Dev.
"Ka, aku boleh tanya, enggak?"
"Tanya apa, Kak?"
"Berarti boleh, ya?"
"Iya boleh"
"Emangnya ada hubungan apa antara Ibu kamu sama Devdan? atau Devdan lagi berusaha ambil hati ibu kamu biar hubungan kalian direstui, ya?" tanyaku penasaran.
Devdan begitu getol membantu Bu Marni. Zaman sekarang mana ada yang tulus, kan? Ada, tapi ya jiaraang bianget. Jadi aku pikir enggak mungkin deh, kalau Devdan enggak ada maksud tertentu? Ya, kan?
"Enggak ada hubungan apa-apa, Kak. Kak Dev cuma mau bantuin ibu mendapatkan pesangon."
"Cuma itu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, Kak. Emmm..Kak Dev itu baik banget orangnya. Kata Ibu, beberapa teman kerja Ibu yang punya kasus sama, juga dibantu sama Kak Dev sampai berhasil mendapatkan hak mereka" jelas Ika. Ia meletakkan hp di lantai. Ia arahkan pandangan matanya ke langit-langit rumah. Aku tahu, Ika tengah menahan air matanya yang berebut keluar.
"Ka.." panggilku samar.
"Sebenarnya aku khawatir dengan Ibu, Kak. Makin ke sini kondisinya makin lemah. Aku takut" Ika menunduk. Sebulir air mata ku dapati jatuh dari mata Ika.
"Ika...." aku mendekati Ika, lalu memeluk tubuh gadis yang masih duduk di kelas 2 SMA itu.
"Sebulan lagi Ibu ulang tahun, aku enggak bisa ngasih hadiah apa-apa selain do'a, semoga dalam jangka waktu sebulan Kak Dev sudah berhasil memperjuangkan hak Ibu, jika iya, ini pasti akan jadi hadiah terindah buat Ibu"
Aku mengusap rambut panjang Ika.
"InsyaAllah, Kak Dev pasti berhasil, Ka"
***
Setelah mendengar ucapan Ika, aku jadi memikirkan Dev berhari-hari. Pikiranku didominasi sebuah fakta bahwa Dev ternyata sosok yang suka membantu orang lain. Selama ini, aku menganggap Dev hanya laki-laki payah sebab tak bisa lulus kuliah tepat pada waktunya.
"Tapi ternyata, Devdan itu baik dan ....."
Ah sudahlah, aku harus berhenti memikirkan Dev. Toh, tak ada untungnya buat aku memikirkan si Devdan kakak tingkat yang mau kadaluarsa itu, bukan?
Demi mengalihkan pikiranku akan Devdan, aku pun pergi ke toko buku. Namun di tengah perjalanan, lagi, aku bertemu dengan orang-orang yang akan demo. Ish ish ish, demo lagi, lagi-lagi demo, nggak bosan apa ya mereka? Gara-gara mereka nih, aku tidak bisa mempercepat laju motorku karena di sisi jalan yang aku lewati nyaris dipenuhi para pendemo itu. Mana cuaca tengah panas-panasnya lagi. Apa aku berhenti dulu sampai para pendemo ini pergi? Ah iya, begitu sajalah.
Aku melayangkan pandangan mencari tempat teduh. Sayangnya, bukan tempat teduh yang kujumpai melainkan seseorang yang sepertinya mirip Devdan.
Tapi sepertinya tidak mungkin itu Devdan. Lawong penampilan Dev itu rapi, tidak seperti penampilan sosok yang mirip Dev. Sosok mirip Dev ini memakai jeans belel, kaos, kemeja sebagai outer, serta membawa megaphone.
"Hannah?"
Tapi, suara itu, suara Dev. Berarti sosok yang mirip Dev itu tak lain adalah Dev. Ya itu Dev, Devdan.
"Kamu mau kemana?" tanya Dev yang sudah berdiri di depan motorku.
"Saya butuh bantuan kamu, Han"
"Apa lagi?"
"Tolong kamu ke Bu Marni, saya hubungi hpnya nggak bisa-bisa"
"Aku nggak janji, Kak"
"Maksud kamu?"
"Dah ya, aku pergi"
***
Gila, gila, gila, gila, sudah 2 hari ini pikiranku penuh Devdan. Berapa kali pun aku berusaha menghapus pikiranku, sebanyak kali itu juga ingatan soal Devdan kembali hadir dipikiran.
Aku kenapa, ya? Ah enggak mungkin, enggak mungkin aku suka sama dia, kan? Ya memang sih, memikirkan dia saja sudah bikin aku deg-deg an. Tapi kalau ingat dia seorang aktivis, rasanya aku jadi enggan.
Aku melangkah gontai ke kelas. Rupanya kelas masih kosong.
"Han, saya cari kamu kemana-kemana, gimana Bu Marni? Kamu sudah ke sana, kan?" tanpa diundang, Devdan masuk ke dalam kelas lalu menghampiriku.
"Sudah, hp yang kamu kasih dijual, buat biaya transport, makan, lain-lain selama Bu Marni berobat" terangku. Sekilas aku menangkap raut terkejut di wajah Dev.
"Kamu nanti siang ke Bu Marni, kan?" tanya Dev..
"Enggak"
"Oooo... saya mau ke sana nanti siang, kamu nanti bisa pulang bareng saya, kos kamu dekat dengan rumah Bu Marni, kan?"
"Aku enggak ke sana"
"Emmm...ya sudah kalau gitu, aku balik dulu, ya" pamit Dev. Aku tak peduli, mauku begitu, tapi nyatanya mataku tak lepas memandangnya sampai hilang di balik pintu. Duuhh, hati sama mataku jadi enggak sinkron gini gara-gara Devdan.
Tapi sebelum menghilang di balik pintu, ia sempat berbalik lalu melemparkan senyum ke arahku. Aku terhenyak melihat senyumnya. Gila, gila, gila, dia makin damn saja.
***
Akhirnya aku di sini, di rumah Bu Marni bersama Dev. Ya, aku pulang bersama Dev. Dia menungguku lama, katanya. Karena aku merasa tidak enak menolak, jadi aku iyakan saja tawaran pulang bareng dengannya. Kebetulan juga aku tidak membawa motor.
Sepanjang jalan, kami tak bicara. Aku bersyukur, sih. Dengan begini aku bisa menutupi rasa gugupku saat dibonceng dia. Eh apa? Aku gugup? enggak, enggak, enggak, enggak ada dalam kamus aku suka dengan aktivis. Enggak, aku benci aktivis, titik.
Tiba di rumah Bu Marni, Ika menyuguhkan air putih untukku dan Dev.
"Ka, sudah kamu siapkan yang saya minta beberapa hari lalu?" tanya Dev to the point.
"Sudah, Kak. Bentar ya aku ambil" Ika berjalan masuk kamar. Tak lama ia keluar dengan map berwarna coklat.
"Ini, Kak. Di dalamnya ada Jamsostek, slip gaji Ibu, apalagi ya, insyaAllah semuanya yang Kak Dev minta sudah ada di dalam sini"
"Oke makasih, ya" ucap Dev sembari mengecek isi map coklat yang sudah ada ditangannya.
"Oya, mungkin besok saya sama teman-teman organisasi akan menggalang dana untuk Bu Marni. Dana yang terkumpul nanti bisa kamu pakai untuk biaya selama menemani Ibu kamu berobat. Do'akan dapat banyak, ya"
"Pasti, Kak. Makasih banyak, Kak. Terima kasih sudah bantu aku dan Ibu". Kata Ika. Dev hanya tersenyum pada Ika lalu padaku.
Ya ampuuunnn, kenapa dia harus senyum padaku lagi. Kenapaaaa? Enggak, aku enggak boleh luluh sama senyuman seorang aktivis yang demo-demo bikin susah bikin rusuh.
***
Oalaaahhh...ternyata begini ya rasanya bisa bantu orang. Perasaan senang yang aku rasakan kali ini rasanya beda banget. Apalagi waktu aku lihat ekspresi Ika saat aku menyerahkan hpku yang tidak terpakai padanya. Ika tersenyum lebar hingga nampak deretan giginya yang berbaris rapi jali.
Mungkin ini alasan Dev bantu Bu Marni. Karena ia bisa merasakan rasa senang yang unik nan luar biasa.
Duuh, coba kalau Dev bukan aktivis, mungkin aku tidak akan menahan rasaku padanya. Eh, apa-an, sih? Enggak, aku enggak punya rasa apa-apa sama Dev. Yakali aku suka sama kakak tingkat yang mau kadaluarsa plus aktivis pula.
Sudah, ah. Waktunya aku tidur. Malam semakin dalam.
***
Kemarin itu, adalah kali pertama aku memberikan sesuatu yang bisa dibilang cukup banyak pada orang lain. Biasanya, paling banyak, yaaaa 100 ribuan.
Aku sendiri heran mengapa aku bisa berubah sedrastis ini. Ah, sepertinya karena ada gejolak di hati aku manakala aku mengingat bagaimana perjuangan Bu Marni yang didukung Ika untuk sembuh dari kanker. Nah, begitu aku membantu Ika, rasanya gejolak itu berubah jadi sebaran bunga yang wanginya bisa menentramkan dan melegakan jiwa.
Sekarang, aku melakukan itu lagi. Aku membantu Bu Marni lagi. Bodo amat soal keinginanku yang ingin menghadiahi diri sendiri skincare yang lagi viral saat aku ulang tahun nanti. Biarlah, Bu Marni dan Ika lebih membutuhkan uang. Lagipula aku bisa menabung lagi dari penghasilanku bekerja sebagai guru les privat.
Aku memberikan uang itu pada Devdan di kantor organisasi buruh. Tak enak rasanya jika aku memberikan langsung pada Ika.
Saat aku memberikan uang itu, aku sempat cerita ke Devdan kalau uang itu adalah uang tabunganku yang niatnya akan aku gunakan untuk menghadiahi diri sendiri saat hari ulang tahunku tiba nanti. Devdan tersenyum dan hatiku menghangat seketika.
Iya, aku mulai menceritakan hal kecil tentangku padanya. Aku tahu apa yang kulakukan ini adalah tanda aku memang benar-benar menaruh rasa pada Devdan. Tapi tenang, tekadku masih bulat, aku tidak mau menjalin hubungan dengan aktivis, aku mau rasa ini berhenti berkembang.
Sebelum aku pamit dari kantor organisasi buruh yang Devdan ikuti, ia menggamit tanganku dan membawaku duduk di kursi di bawah pohon rindang di belakang kantor.
"Terima kasih karena kamu sudah membantu Bu Marni, salah satu anggota organisasi kami. Saya dan teman-teman sudah melakukan tahap demi tahap untuk mendapatkan hak Bu Marni dan beberapa anggota yang bernasib sama. Saya dan teman-teman sudah melakukan Bipartit, namun tidak digubris oleb pabrik. Oleh sebab itu kami melakukan demonstrasi sebagai salah satu cara kami menarik perhatian pihak pabrik, masyarakat, wartawan, dan pemerintah setempat. Namun lagi-lagi, kami masih menemui jalan buntu. Kemudian kami mengajukan tripartit, pertemuan antara yang berwenang di pabrik, Disnaker dan perwakilan buruh. Saya dan teman-teman berharap di titik ini kami berhasil. Namun jika tidak, kami bertekad akan turun ke jalan dan demo lagi"
"Lalu untuk apa kamu menjelaskan hal itu ke aku, Kak?"
"For your information" kata Dev lalu memberikan senyum manis padaku.
"Saya tahu seperti apa penilaianmu pada saya dan teman-teman buruh. Hannah, saya jamin, penilaian kamu tentang saya itu salah. Kamu perlu tahu, aktivis, demonstrasi, tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Kami melakukan demo karena ada pemicunya, karena ada yang kami perjuangkan. Andai saja jika pabrik memberikan hak buruh sebagaimana aturan undang-undang yang berlaku, kami tidak akan turun ke jalan" lanjut Dev panjang lebar.
Aku paham maksud Dev. Namun yang tidak aku paham bagaimana dia bisa tahu kalau aku benci aktivis, demo, dan segala yang terkait. Soal ini aku hanya pernah cerita ke satu orang. Masa orang itu yang bilang ke Dev? Ah, enggak mungkin.
"Dih, sok tahu, sudahlah aku pergi" aku pamit. Aku lepaskan genggaman tangan Dev. Lalu beranjak melangkah. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, ..., sepuluh langkah, Dev tidak mengejarku rupanya. Padahal aku yakin Dev akan mengejarku karena tadi aku merasakan genggaman tangannya yang terasa lembut, hangat dan kokoh.
Seharusnya aku sadar diri bahwa tidak mungkin Dev mengejarku dan memintaku tidak pergi. Siapa aku bagi Dev? Bukan siapa-siapa, jadi tidak seharusnya aku mengharapkan hal itu pada Dev?
***
Hari ini, hari ulang tahunku. Keluarga, teman-teman kuliah, teman kerja, dan semuanya, sudah mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Beberapa ada juga yang memberiku kado ulang tahun. Senang? seharusnya begitu, seharusnya aku merasa senang. Tapi entah kenapa, rasanya ada yang kurang.
"Kak Hannah"
Eh seperti suara Ika. Aku melongok kan kepala di jendela kamar kosku yang terletak di lantai dua. Ika nampak berdiri tepat menghadap jendela kamarku.
"Apa, Ka?" sahutku dari Jendela.
"Temenin yuk, antar pesanan nasi"
Ajakan Ika laksana angin segar bagi aku yang tengah dilanda rasa hampa. Pikirku, daripada aku di kamar berkubang sendu lebih baik aku terima ajakan Ika.
"Kabar Ibu gimana?" Aku memulai percakapan di angkot yang kami tumpangi.
"Alhamdulillah, beberapa hari lalu ibu sudah menjalani operasi pengangkatan payudara, tempat kanker berada. Sekarang tinggal kemoterapi 2 sampai 3 kali trus rongsen payudara untuk memastikan sel kanker sudah tidak ada." Jelas Ika.
"Alhamdulillah, jangan lupa setelah ini kamu juga ibu mulai gaya hidup sehat ya, Ka" saranku yang direspon dengan anggukan kepala Ika.
"Soal pesangon gimana, Ka?"
"Oiya, aku lupa cerita, alhamdulillah pabrik akhirnya mau memberikan hak ibu penuh. Aku senang banget, Kak. Aku do'akan semoga pabrik semakin sukses." Raut bahagia tergambar jelas di wajah Ika. Aku ikut senang dengan kabar ini.
"Ulang tahun ibu kali ini hadiahnya luar biasa banget, Kak. Hadiah itu berupa Kak Dev yang berhasil mendapatkan hak pesangon ibu, trus operasi ibu yang berhasil, dan sebagainya". Cerita Ika.
"Trus kamu sekarang usaha makanan sama Ibu kamu?"
"Ini kalau aku pas libur sekolah aja, Kak. Aku nggak mau Ibu capek. Aku mau Ibu di rumah, biar aku yang kerja sepulang sekolah di workshopnya Kak Dev"
"Eh, kak Dev punya workshop?"
"Punya, Kak. Kak Dev punya usaha fotografi, buka kelas sama jualan barang-barang yang berhubungan dengan dunia fotografi" jelas Ika panjang lebar.
"Syukur, deh. Aku ikut senang, Ka"
Kami hening. Lalu tak lama Ika meminta berhenti ke pak supir angkot. Katanya sudah sampai.
"Ka, ini kan arah kantor organisasinya Kak Dev"
"Iya, nasi ini pesanannya kak Dev"
"Aku tunggu di sini aja, ya Ka"
"Sebentar aja, Kak, ngasih ini ke Kak Dev abis itu langsung pulang, mau ya kak?"
Akhirnya aku mengiyakan permintaan Ika. Kedatangan kami disambut banyak orang yang ada di kantor. Sepertinya mereka akan mengadakan pertemuan.
"Duduk sini dulu, Kak, Kak Dev masih di sana, tuh" Ika menunjuk sebuah panggung kecil. Devdan ada di sana dengan tangan kanan memegang mikrofon.
"Terima kasih, Ika, sudah membawa Hannah ke sini" kata Devdan sembari mengacungkan jempolnya pada Ika.
Aku terkejut lalu menoleh ke Ika sembari mencari tahu tujuan Devdan mengatakan itu di depan orang banyak. Sayang, aku hanya menemukan ekspresi sumringah di wajah Ika.
Duh, jangan-jangan Dev mau memberitahukan semua orang kalau aku membenci aktivis dan segala yang terkait dengan demonstrasi. Aku menggigit bibir untuk meredam rasa khawatir.
Dev turun dari panggung dengan tangan masih membawa mikrofon. Ia berjalan ke arahku dan Ika. Aku takut, takut dikeroyok.
"Hari ini kamu ulang tahun, kan?" Tanya Dev. Aku mengangguk samar.
"Ini hadiah buat kamu, silakan kamu buka"
Aku mengambil sebuah kotak yang diberikan Dev padaku.
"Bukalah" perintah Dev.
Aku membuka kotak tersebut. Begitu tahu isinya, sontak aku menutup mulut. Agar aku tidak bersorak-sorai. Di dalam kotak itu ada paket skincare yang aku damba serta sebuah kertas bertuliskan 'Maukah kamu menikah denganku, Hannah?'.
"Kak Dev, ini..." Kalimatku menggantung karena Dev mulai bicara.
"Will you marry me, Hannah?" Kata Dev menatapku dalam. Aku pun menatapnya. Aku mencari sesuatu di tatapan mata Dev dan aku menemukannya. Sesuatu itu adalah kesungguhan. Dev serius mengatakan itu padaku.
"Apa? Apa maksud kamu, Kak" tanyaku.
"Jawab ya atau tidak, sekarang"
"Dih maksa, ya udah aku enggak mau"
"Koq, gitu? Tapi ya sudahlah, saya akan mundur teratur jika memang kamu menolak saya" Devdan hendak beranjak, namun ku tahan dengan menarik tangan Devdan.
"Aku enggak mau sebelum kamu dan aku lulus kuliah"
"Berarti kamu mau?" tanya Dev memastikan.
"Mau, Kak" jawabku tersenyum lebar.
Seketika riuh. Semua yang hadir bersorak. Ada yang menggoda, ada yang memberi selamat, dan ada jg yang nyinyir. Dev lalu membagikan nasi yang dibawa Ika pada orang orang yang hadir di sana.
"Ka, makasih ya, berkat bantuan kamu, saya bisa mendapatkan ni anak" ucap Dev pada Ika. Ika meresponnya dengan anggukan kepala. Sedangkan aku diliputi seribu tanya.
"Jadi kalian kerjasama? kamu bilang semua yang aku ceritain ke kamu, Ka?"
"Hehe...maaf ya, Kak. Kak Dev tu yang nyuruh"
"Ya begitulah" jawab Dev singkat sambil tersenyum.
"Koq bisa kalian kerjasama, Ka, ceritain?"
"Minta ceritain kak Dev aja, ya Kak, biar lebih valid, terutama pas bagian kak Dev mengamati kak Hannah secara sembunyi-sembunyi sejak lama" Ika nyengir. Aku beralih menatap Devdan.
"Iya, saya akan cerita ke kamu, tapi jangan sekarang ya, bisa panjang nih ceritanya kalau saya tuangkan di sini semua, bukan jadi cerpen malah jadi novel"
Aku mengangguk setuju. Dev benar.
Sama seperti Bu Marni, ulang tahunku kali ini juga paling berkesan. Bagaimana tidak, hadiah yang aku dapatkan adalah dilamar oleh laki-laki yang belakangan ini begitu aku kagumi kepribadiannya, Devdan.
***
Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.
***
Ket:
Cr. Foto IDNtimes, CNBC, liputan6
Narasumber terkait buruh: Ketua organisasi buruh SPBI.
Narasumber terkait kanker: Anggota keluarga.