Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal
menghubungiku. Dan sekarang, nomor itu kembali menghubungiku. Sudah
berkali-kali. Jariku pun bergerak. Memencet tombol hijau. Lalu berkata :
“Halo...? ”.
“Ini Nina Bang, pulsa Nina abis, ini minjem hp temen, cuma’
mau ngasih tau, Emak nanyain Abang terus. Kata Emak , Abang kapan pulang ?“.
Deg.
***
Kata orang, jadi anak pertama itu enak. Mendapatkan kasih
sayang penuh. Bisa minta ini itu. Selalu jadi nomor satu. Siapa bilang ?.
Orang. Orang dari mana ? dari Hongkong ? atau dari kolong?. Itu kata orang dari
Hongkong kaliii. Bukan dari kolong. Kalau dari kolong, tentu bukan begitu. Tapi
seperti ini. Anak pertama adalah anak yang diharapkan dapat membantu
perekonomian keluarga.
Ya itulah Aku. Dari kecil, Emak dan Bapak sudah melatihku
untuk bisa mencari uang sendiri. Bukan dengan ngamen, bukan dengan ngasong.
Tapi dengan ngangon, menjaga dan
mengurus sapi atau kambing milik orang. Upahnya, satu anak kambing atau sapi
boleh Aku miliki.
Kelihatannya manteb kan?. Tidak. Jauh malah. Kalau yang
dipelihara tikus gitu, mungkin bisa untung banyak. Karena sekali beranak, lahir
selusin. Kalau kambing atau sapi, sekali beranak ya kadang dua, lebih sering
satu. Kalau sudah begitu, yaa tinggal nunggu belas asih dari si pemilik kambing
atau sapi. Waktu itu, tak ada sedikitpun rasa sedih berlama-lama singgah di
hati. Sungguh.
Sedih mulai menjalari hati, saat mata Emak terkena katarak.
Tak ada uang untuk membawa Emak ke ruang
operasi. Karena penghasilan keluarga, hanya cukup untuk makan sehari-hari. Jika
ada sisa, uang akan disimpan untuk biaya sekolahku juga adikku.
Meminta bantuan keluarga?. Tidak bisa. Hidup mereka juga
susah. Jadi, Emak tak pernah bisa ke
ruang operasi. Dan mata Emak tak dapat
melihatku lagi.
Sedih bukan kepalang. Karena merasa diri tak mampu berbuat
apa-apa. Ingin berhenti sekolah. Emak malah marah. Lalu harus bagaimana ?.
“Nggak apa-apa Mat, Emak sehat, cuma nggak bisa ngelihat aja”
kata Emak. Lalu beliau pergi, ditemani adikku, ke salah satu rumah warga untuk
mencuci baju. Iya, sejak saat itu, Emak memilih untuk menjadi buruh cuci baju saja.
Rasa sakit karena tak mampu berbuat apa-apa, sekian tahun
terperangkap di dada. Cukup sudah. Aku tak sanggup lagi menahan
ketidakberdayaan ini. Aku harus berbuat sesuatu untuk Emak . Maka begitu lulus
SMK, Aku pun berangkat merantau.
Semula, Aku pikir, begitu merantau, Aku bisa segera berhasil.
Dan ternyata tidak. Aku hampir seperti orang-orangan sawah. Lalu bagaimana ini
?. Emak sudah memintaku untuk kembali.
Sementara kantongku belum berisi.
Sudah sering, adikku menghubungiku. Mengatakan hal yang
sama. Bahwa Emak rindu. Emak ingin Aku bekerja di rumah saja. Toh, di tanah rantau juga tak kunjung
mendapatkan apa-apa.
“Emak nggak apa-apa, Emak
sudah biasa, pulanglah”.
Begitu kata Emak. Kata-kata itu terngiang-ngiang di
telinga.
“Tidak Aku belum menyerah. Aku belum mau pulang Mak. Aku
harus jadi orang dulu. Baru Aku
pulang. Emak berdoa saja untukku“.
Terus begitu. Kalimat itulah yang selalu keluar dari
mulutku. Iya, Aku yakin di tanah rantau ini, Aku pasti akan berhasil. Entah itu
kapan. Tapi Aku yakin. Di sini, Aku bisa menemukan jalan yang bisa membuat
kehidupanku juga keluargaku lebih baik lagi.
***
Hidup mulai bersahabat denganku. Ia mau berjalan beriringan
dengan ku. Bahkan sesekali ia tersenyum kepadaku. Bahkan deretan giginya yang
indah, hampir terlihat semua. Sebuah senyum yang begitu lebar. Dan Aku tidak
lagi menjadi orang-orangan sawah. Badanku sudah berisi.
Ya. Di tanah rantau ini, Aku memang bekerja sebagai pelayan
restoran. Awal mula, hanya sebagai pelayan restoran biasa. Kemudian, secara
bertahap, karierku mulai menanjak. Hingga akhirnya Aku menjadi pelayan restoran
berbintang. Hal inilah membuat Aku ngguya
ngguyu setiap kali melihat amplop tebal di tanganku.
Penghasilanku dapat dikatakan lebih dari cukup. Tentu saja, Aku
ingin berbagi kepada Emak , adik, juga bapak. Sementara sebagian lagi,
diam-diam, akan Aku tabung untuk operasi mata Emak . Tapi lagi-lagi Emak menolak, begitu juga dengan Bapak.
“
Kasih adekmu saja. Bapak Emak masih bisa usaha sendiri. Kamu kapan pulang
?”.
Emak . Selalu begitu.
Entah dapat wangsit dari mana. Akhirnya uang yang seharusnya
Aku bagi untuk Emak juga bapak, Aku
gunakan untuk sekolah lagi. Ya Aku kuliah. Aku adalah mahasiswa.
Sejak Aku memutuskan kuliah. Perlahan namun pasti. Aku
menjadi orang-orangan sawah lagi. Badanku kurus. Tak terurus. Karena Aku harus
mengencangkan ikat pinggang. Agar biaya kuliah bisa sanggup Aku bayar.
Dugaanku salah. Aku pikir biaya kuliah hanya mahal di awal
saja. Namun ternyata tidak. Ada banyak praktikum yang harus Aku lewati. Dan
tentu saja kegiatan itu membutuhkan biaya lagi.
Aku pun tak lagi mengirim uang kepada adikku tersayang. Aku
pun memohon maaf akan hal itu, dan apa kata Emak.
"Kurang berapa Mat ?. Emak Bapak bisa ngusahain”.
Aku terharu. Bukan karena ucapan Emak . Tapi karena Emak tak menyuruhku pulang lagi. Malah Emak mau membantu biaya kuliahku. Urusan sekolah, Emak
juga bapak memang nomor satu. Meskipun Emak
Bapak bukan orang yang mampu, tapi soal sekolah mereka akan mendukungku penuh.
Ah Emak . Meskipun kau tak dapat melihat seperti dulu, tapi
hatimu, semangatmu, tak pernah redup sedikitpun. Baiklah, Aku akan berusaha
sekuat tenaga. Aku tak mau kalah dengan semangatmu.
***
Akhirnya, Aku memesan tiket kereta api juga. Dengan tujuan
tanah kelahiranku. Ya, Aku akan menginjakkan kaki di tanah kelahiranku lagi. Aku
memang belum benar-benar jadi orang. Tapi
sesuatu hal mengharuskanku untuk pulang.
“Emak sakit Bang.
Segeralah pulang”.
Begitu kalimat terakhir yang dikatakan adikku. Emak sakit. Tapi untuk kesekian kalinya, saat Aku
berbicara kepada Emak, Emak pun berkata
:
“Ora opo-opo Mat, Adikmu saja yang
berlebihan”.
Begitu kata Emak. Tapi, Aku membantah permintaan Emak. Aku
mengatakan pada Emak , bahwa Aku sudah mengambil cuti beberapa hari dan 7 hari
lagi Aku akan berangkat pulang. Emak pun
berkata :
“Ya sudah kalau gitu, hati-hati di jalan. Emak ora opo-opo mat, nggak usah buru-buru loh ya. Ngge pon, Emak tak sholat dulu”.
Ah Emak . Kau selalu begitu.
***
Langit begitu cerah. Padahal, hari-hari kemarin, langit
selalu mendung. Mungkin awan ingin beristirahat sejenak. Sekedar meringankan
badan, karena sudah terlalu sering membawa berliter-liter air hujan kemanapun
awan pergi.
Cuaca memang nampak bersahabat hari itu. Saat Aku
menginjakkan kakiku, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun merantau, di
tanah kelahiranku.
Saat itu, Aku mempercepat langkahku. Setengah berteriak,
kupanggil tukang ojek agar segera mendekat. Kupinta agar laju motor dipercepat.
Karena hati sudah begitu ingin bersua, dengan seseorang yang selalu memberi
warna dalam hidupku. Seseorang yang selalu ada untukku. Seseorang yang tidak
pernah ingin menyusahkanku. Seseorang yang tidak pernah mau membuatku merasa
khawatir. Dan seseorang yang selalu dengan senang hati membantuku dengan sekuat
tenaga yang dimilikinya.
Dia lah Emak. Pelipur laraku. Penyemangat hidupku. Pencipta
ketenangan menghadirkan kekuatan. Untuk terus berjuang demi mendapat hidup yang
lebih baik. Demi sekolah lagi. Demi mendapat ilmu lagi.
Dialah Emak . Emak ku tersayang. Yang sangat amat Aku
cintai. Yang sangat berarti bagiku. Yang segala-galanya untukku. Dan yang saat
ini sudah tidak bersamaku lagi.
Iya, Emak sudah
pergi. Meninggalkan kami. Tuhan begitu sayang padanya, hingga menjemputnya
begitu cepat. Bahkan sebelum Aku mewujudkan niatku untuk menghadirkan cahaya
lagi di mata Emak . Dan tahukah Engkau Tuhan ?. Kau telah mengambil cahaya
dalam hidup kami.
***
1150 Kata