Lelah. Letih rasanya. Saat cobaan yang datang dalam hidup tak kunjung pulang lalu menghilang. Tidak sebentar. Bertahun-tahun.
Keluh kesah pun makin rajin merajai hati dan pikiran. Kadang dihiasi dengan sumpah serapah dan emosi tingkat dewa. Lelah. Letih rasanya. Cobaan tak jua musnah.
Belum selesai mengatasi cobaan yang ini. Cobaan lain datang lagi. Memang tak lama. Tapi silih berganti. Terus-terusan. Lelah. Letih rasanya. Menghadapi cobaan hidup yang tak kunjung pergi. Kemudian juga menghadapi cobaan hidup lain yang hanya singgah saja tapi datangnya keroyokan. Lelah. Sungguh.
Dan Air mata adalah klimaks dari rasa-rasa yang terasa di jiwa. Sementara menyerahkan diri kepada-Nya adalah klimaks dari berbagai macam usaha yang telah ditempuh namun gagal.
Sudah. Sampai di situ saja. Jangan berpikir aneh-aneh. Jangan melakukan sesuatu yang berbahaya. Baik untuk jiwa maupun raga. Jangan. Cukup sampai di situ. Tidak boleh lebih dari itu. Cukupkan sampai di sini.
***
Itu aku. Iya. Itu yang aku alami. Dulu. Dan sekarang, tidak seperti itu. Alhamdulillah.
Hmmmm... berarti cobaan yang nempel selama bertahun-tahun itu sudah musnah donk ? Belum. Iya belum. Cobaan yang awet markawet itu masih setia menemaniku juga keluargaku koq. Setia banget. Kami pun sudah terbiasa dengan kehadirannya. Malahan belakangan ini kami, terutama aku Sekarang, aku lebih neriman (menerima) cobaan hidup yang datang. Jiwa rasanya lebih tenang. Lebih stabil. Tidak entup entup lagi. Penuh emosi. Malah terkadang aku bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya atas cobaan yang ia pilihkan untukku ini. Ikhlas mah saya Ya Allah.
Untuk menghadirkan rasa itu bisa dibilang mudah. Nggak perlu kudu mondok dulu. Atau menyepi. Atau bertapa di tempatnya si buta dari goa hantu dan sebagainya. Nggak. Nggak perlu melakukan itu. Yang perlu dilakukan cuma satu :
Hadirkan keyakinan bahwa Allah memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya.
Kalimat tersebut begitu familiar bukan ? Aku malah hapal betul. Di luar kepala. Iya cuma hapal tapi belum meresap di jiwa. (Rendang kali ah ngeresep).
Sebenarnya, membuat kalimat tersebut hadir di jiwa tidak membutuhkan waktu lama. Cuma butuh peka aja. Peka dengan sekitar kita. Untuk itu, posisikan peka dalam mode on. Saat aku memposisikan peka dalam mode on. Maka dengan mudah aku akan mendapati dan menyadari cobaan-cobaan hidup yang dialami orang lain yang jauh lebih susah dan berat dari yang aku alami saat ini.
Salah satunya seperti cobaan yang dialami oleh teman se kantor si ayah. Mendekati HPL, beliau harus kehilangan suami tercinta yang meninggal karena serangan jantung. Atau seperti cobaan teman si ayah satunya lagi, yang depresi karena diselingkuhi oleh suaminya. Atau seperti cobaan temenku yang kehilangan buah hatinya. Dan sebagainya.
Cobaan-cobaan yang dialami oleh orang-orang sekitar ku itu membuatku sadar dan berpikir bahwa cobaan yang aku alami ini tidak ada apa-apanya. Malah ini sangat amat ringan. Daripada cobaan harus kehilangan orang-orang yang dicinta. Aku tak akan sanggup. Sungguh. Aku tak akan mampu dengan cobaan yang seperti itu. Aseli. Jadi aku amat bersyukur dengan cobaan yang Allah pilihkan untukku. Tepat banget. Sesuai dengan kemampuanku. Ah, Allah memang Maha Tahu Kemampuan HambaNya.
Sejak saat itu, nggak ada lagi yang namanya keluh kesah, gundah gulana, apalagi sampai aku berubah jadi bimoli, bibir monyong lima senti. Nggak. Yang ada hanya rasa optimis bahwa cobaan ini akan berakhir. Yang ada hanya memohon untuk dikuatkan iman, kesehatan, serta diberikan kesabaran untuk menjalani cobaan hidup ini. Dan yang ada hanya keyakinan bahwa akan ada kado terindah di ujung sana dari Nya. Alhamdulillah.
Gimana ?. Mudah bukan caranya ?. Cukup satu langkah saja untuk menghadirkan ikhlas saat cobaan datang melanda. Jadi tetep semangat yak. Kata D'Masiv mah, Jangan Menyerah.. haaa..haa..haaaaa. Gitu.