Menstimulasi Kognitif Anak dengan Permainan Simsalabim Jadi Apa ?

Usia 0-6 tahun dikatakan sebagai masa golden age si kecil. Saat itu tumbuh kembang si kecil melesat begitu cepat. Imitasi yang mereka lakukan pun diibaratkan lebih canggih dari mesin foto copy tercanggih. Cepat, dan sama persis. Oleh sebab itu, para orangtua berusaha untuk tidak menyia-nyiakan masa golden age si kecil ini.

Salah satu bentuk usaha orangtua adalah dengan menstimulasi kognitif si kecil. Seperti mengenal angka, huruf abjad, dan hijaiyah. Serta mencoba memberikan pemahaman jika ini maka begitu atau yang seperti ini ini ini namanya itu dan lain sebagainya.

Banyak orang yang kurang setuju dengan menstimulasi unsur kognitif pada si kecil sejak usia dini. Dengan alasan belum waktunya si kecil untuk mendapatkan stimulus seperti itu. Dan lebih baik masa golden age si kecil dilalui dengan bermain. Lalu bagaimana jika seperti ini, Lebih baik masa golden age si kecil dilalui dengan bermain sambil belajar ?.

Pemberian bold pada kata bermain tersebut merupakan hal yang menjadi prioritas. Bukan belajar yang menjadi prioritas utama. Sebab jika belajar menjadi prioritas utama maka selanjutnya yang ingin diketahui adalah hasil dari kegiatan belajar itu sendiri. Seperti bisa melakukan ini atau bisa me,baca itu. Kemudian apabila sudah berbicara hasil maka akan ada strategi-strategi tertentu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Bahkan bisa saja aalah satu strategi tersebut berupa memberikan hukuman pada si kecil. Oleh sebab itu, yang menjadi prioritas adalah bermain. Yang mana hasil dari bermain adalah perasaan bahagia.

Saat ini mencari ide permainan untuk menstimulasi kognitif si kecil sudah semakin mudah dan banyak pilihan. Mulai dari yang manual sampai permainan yang canggih sekalipun sudah tersedia. Tinggal disesuaikan dengan tumbuh kembang si kecil saja.

Salah satu permainanan manual yang dapat digunakan untuk menstimulasi kognitif si kecil dalam mengenal huruf abjad adalah permainan Simsalabim Jadi Apa. Sekilas, apabila dilihat dari nama permainannya saja, memang nampak seperti permainan sulap. Namun sebenarnya ini hanya kertas putih yang dioles lem. Olesan lem tersebut dibentuk seperti huruf-huruf abjad. Kemudian taburkan kertas bekas yang sudah digunting kecil-kecil di atas olesan lem tersebut. Angkat kertas. Dan SIMSALABIM keluarlah huruf Abjad. Lalu si kecil akan bersorak kegirangan.

Meskipun sederhana, permainan ini berhasil membuat si kecil menjadi antusias dan senang. Apalagi saat ia menaburkan potongan-potongan kertas di atas kertas yang sudah diberi lem. Proses menstimulasi kognitif si kecil menjadi terasa menyenangkan.

Jadi, perhatikan baik-baik masa golden age si kecil. Berikan stimulus dengan cara yang menyenangkan. Yakni bermain sambil belajar.

Kenali Gaya Belajar Anak

Setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menerima, menyerap, memahami, dan mengolah informasi yang diperoleh atau disebut dengan gaya belajar. Cepat atau lambatnya seseorang dalam mengingat serta memahami informasi yang diterima tergantung pada ketepatan gaya belajar yang digunakan. Oleh sebab itu mengetahui gaya belajar amatlah, amatlah penting. Sebab selain untuk memberikan kemudahan bagi anak dalam menyerap, memahami, dan mengolah informasi yang ia terima. Juga akan memberikan kemudahan bagi orangtua ataupun guru dalam menstimulasi kecerdasan majemuk anak.

Menurut Deporter, ada 3 macam gaya belajar. Pertama adalah gaya belajar auditori. Kedua adalah gaya belajar visual. Dan yang ketiga adalah gaya belajar kinestetik. Ketiga macam gaya belajar ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Pertama : Gaya Belajar Auditori

Gaya belajar auditori merupakan cara seseorang menerima, memahami dan mengolah informasi dengan menggunakan indera pendengar yakni telinga. Metode ceramah adalah salah satu metode belajar yang cocok dipaka untuk memberikan informasi pada anak yang memiliki gaya belajar seperti ini.

Di sisi lain, anak dengan gaya belajar auditori ini sedikit kurang dalam hal memahami gambar, diagram, flowchart, dan sebagainya. Jadi jika nanti bertemu dengan informasi yang berbentuk gambar, diagram, atau lainnya, maka langkah yang dilakukan orangtua adalah memberikan penjelasan kepada anak. Gambarkan dalam bentuk kata-kata. Dan dengan kalimat yang mudah dicerna olehnya.

Kedua : Gaya Belajar Visual

Anak dengan gaya belajar visual ini memiliki ciri-ciri mudah menerima,memahami dan mengolah informasi yang dikemas dalam bentuk gambar, flowchart, bagan dan sebagainya. Sebaliknya ia sedikit lemah dalam menyerap informasi yang disampaikan dengan metode ceramah, diskusi, dan sebagainya.

Nah oleh karena metode belajar yang dipakai di sekolah rata-rata menggunakan metode ceramah, diskusi, dan sebagainya. Maka solusi bagi anak dengan gaya belajar visual ini adalah dengan menggunakan mind mapping. Seperti misalnya membuat bagan atau flowchart dari materi yang disampaikan oleh guru maupun materi yang ia baca.

Ketiga : Gaya Belajar Kinestetik

Gaya belajar kinestetik merupakan cara anak menerima, memahami dan mengolah informasi dengan cara menyentuh atau berinteraksi secara langsung. Metode belajar yang pas untuk anak dengan gaya belajar ini adalah metode demonstrasi, praktikum, dan sebagainya.

Misalnya ingin menjelaskan tentang materi jual beli maka anak bisa diajak untuk bermain pasar-pasaran. Atau ingin menengenalkan soal pengurangan dan. penjumlahan. Caranya dengan menggunakan konsep berbagi. Kemudian apabila materi yang ingin dijelaskan tentang pencernaan manusia dimulai dari mulut hingga usus bahkan anus maka caranya adalah membuat simulasi soal itu. Jadi kinestetik memang butuh lebih banyak bereksplorasi, mencoba, dan melakukan beberapa praktik sederhana.

Nah itulah beberapa macam gaya belajar anak. Semoga bermaanfaat yak. Dan cao.

5 Alasan Tidak Mengikutkan Anak Ke Sekolah AUD

Saat ini, menyekolahkan si kecil di sekolah anak usia dini tengah menjadi tren bagi para orang tua. Hal ini tidak lagi terjadi di kota, melainkan juga di desa-desa. Pelakunya bukan lagi para ibu bekerja, melainkan juga dilakukan oleh para ibu rumah tangga. Bukan hanya ekonomi menengah ke atas, akan tetapi juga dilakukan oleh hampir seluruh tingkatan kelas ekonomi. Sebab saat ini sudah ada sekolah anak usia dini yang biayanya cukup terjangkau.

Kenyataan ini bisa dikatakan sebagai adanya peningkatan kesadaran para orangtua untuk memberi pendidikan kepada anak-anaknya sedini mungkin. Sebuah kenyataan yang menghembuskan angin segar di dunia pendidikan. Angin segar yang membawa rasa optimis bahwa pendidikan di negeri ini akan melesat maju. Standing applause untuk para orangtua saat ini.

Sekilas memang tren ini nampak bernilai positif. Dan iya. Memang bernilai positif. Akan tetapi tidak berlaku mutlak. Maksudnya jangan jadikan menyekolahkan anak di sekolah usia dini ini menjadi satu-satunya cara untuk memberikan pendidikan kepada anak.

Persepsi demikian sepertinya sudah menjalar di masyarakat. Begitu melihat anak usia dini maka pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan bermunculan. Antara lain : "Sudah sekolah ?", "Sekolah di mana ?", "Sudah diajarin apa saja di sekolah ?", "Wah pinternya sudah bisa nulis, pasti nanti jadi juara kelas", "Koq baru bangun ? nggak sekolah yah ?", dan satu lagi : "Koq nggak sekolah ? Si budi, si andi, sudah sekolah semua".

Padahal menyekolahkan anak di sekolah usia dini bukan satu-satunya cara memberi pendidikan kepada anak. Masih ada cara lainnya. Salah satunya dengan cara belajar di rumah atau yang lebih di kenal dengan nama homeschooling.

Selama ini, orangtua yang memilih homeschooling untuk anaknya dianggap karena ragu dengan lembaga pendidikan yang ada. Tidak selalu begitu. Ada juga orangtua yang memilih homeschooling untuk anaknya dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Merupakan Anak dengan Kecerdasan Kinestetik

Menurut Howard Gardner, ada 9 kecerdasan yang dimiliki oleh setiap anak. Yakni kecerdasan linguistik, kinestetik, visual spasial, musik, interpersonal, intrapersonal, natural, logika matematika dan kecerdasan moral. Nah di antara sekian banyak macam kecerdasan tersebut, ada satu kecerdasan yang sering dianggap miring. Dan itu adalah kecerdasan kinestetik.

Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan kinestetik adalah anak yang mahir dalam melakukan olah tubuh. Tidak bisa duduk diam terlalu lama. Suka bereksplorasi dan sebagainya. Oleh sebab itu, anak dengan tipe ini sedikit susah untuk diajak duduk diam di dalam kelas untuk mengikuti kegiatan belajar. Dan tidak menutup kemungkinan hasil belajar si kecil selama belajar di sekolah tidak terlalu terlihat signifikan.

Kalau bertemu dengan siswa seperti ini maka guru harus mendampingi si anak kinestetik ini atau bisa memberikan aktivitas khusus untuknya (yang berhubungan dengan materi belajar yang sedang dipelajari bersama). Demi agar tetap terciptanya kondisi kelas yang kondusif untuk anak-anak lainnya. Sementara si anak kinestetik bisa mengikuti pelajaran dengan baik.

Jadi anak usia dini dengan kecerdasan kinestetik yang dominan lebih baik untuk homeschooling dulu. Belajar di rumah sambil bermain dan bereksplorasi.

2. Merupakan Anak dengan Otak Kanan Dominan

Menurut Rogger Sperry, seorang ahli neuropsikolog, fungsi otak manusia dibagi menjadi dua bagian yakni otak kanan dan otak kiri. Masing-masing bagian ini memiliki fungsi yang spesial. Tanpa tergantung satu dengan yang lainnya. Cara kerjanya juga berbeda.

Otak kiri bekerja secara seri. Berurutan. Sementara otak kanan bekerja secara paralel. Melompat-lompat.

Cara belajar anak dengan otak kanan dominan adalah lebih suka belajar dengan tidak terikat waktu. Kadang ia suka belajar di pagi hari, kadang juga sore hari. Setelah mandi atau setelah makan.

Jadi anak usia dini yang seperti ini lebih baik melakukan homeschooling terlebih dahulu. Belajar di rumah. Sambil bermain. Terserah kapan waktunya. Jika anak belajar dengan perasaan senang, maka hasilnya pun akan memuaskan.

3. Si Ibu Bisa

Point ketiga ini tergantung dari kemampuan ibu. Karena tidak semua ibu mampu mendidik si kecil. Baik itu disebabkan karena pengetahuan yang masih minim dengan dunia anak. Atau bisa juga karena tak punya cukup waktu. Sebab bekerja.

Jadi jika ibu memilih homeschooling untuk anak. Maka ibu tak hanya harus punya cukup waktu. Namun juga harus memperkaya ilmu pengetahuan tentang dunia anak.

4. Materi

Setiap orangtua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Termasuk pendidikan. Namun biasanya, untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak membutuhkan materi yang tidak sedikit.

Misalnya ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anak dengan kecerdasan kinestetik. Maka sekolah yang cocok untuk anak kinestetik adalah sekolah yang lebih banyak melakukan praktikum atau sekolah alam. Sekolah yang seperti ini pasti memerlukan biaya yang lumayan.

Jadi jika belum mampu materi untuk memberikan pendidikan terbaik untuk anak. Maka solusinya adalah homeschooling terlebih dahulu. Melakukan praktikum-praktikum dengan alat sederhana atau bisa memanfaatkan barang bekas yang ada. Bukan malah mengikutkan anak ke sekolah anak usia dini yang apa adanya. Apalagi sekolah tersebut kurang cocok dengan kecerdasan yang dimiliki anak.

5. Anak Belum Meminta atau Berkeingan Untuk Sekolah

Jadi sebelum mengikutkan anak ke sekolah usia dini. Alangkah baiknya jika orangtua mempertimbangkannya terlebih dahulu. Demi mendapatkan yang terbaik untuk anak.

Facebook  Twitter  Google+ Yahoo