“Ini saya kasih obat dulu, 2 minggu lagi mbak harus kesini,
kalau ngefleknya berhenti berarti kandungan mbak bisa diselamatkan, kalau nggak
berhenti ya berarti mbak harus dikuret”
Plash. Shock dengan perkataan dokter. Tak banyak kata yang
terucap. Hanya termangu membisu.
“Positif thingking ma, masih ada kesempatan 2 minggu lagi”
kata suami. Saya hanya mampu menganggukan kepala.
Hari-hari berikutnya, saya mencoba untuk berpositif
thingking, mengikuti anjuran suami seraya tetap berusaha mempertahankan
kandungan dengan konsumsi obat dari dokter, makanan sehat, serta bedrest, dan
tak lupa memperbanyak waktu untuk bertemu dengan-Nya.
Namun usaha itu seakan sia-sia setiap kali melihat darah
yang terpampang jelas di CD.
Ya Allah apakah sudah
terlambat memperbaiki ikhtiar kami?
2 minggu berlalu, darah tetap mengalir dan saya pun harus
dikuret. Rasa sakit karna dikuret bukan jadi alasan utama mengalirnya air mata
begitu deras. Akan tetapi karena merasa bersalah. Tak mampu menjaga sebaik
mungkin amanah dari-Nya.
Astaghfirullah.
“konsumsi ini ya mbak, biar rahimnya cepat pulih, makan
makanan yang sehat, biar nanti rahimnya siap menerima janin lagi, jadi janinnya
bisa berkembang dengan baik, nggak BO lagi”
Kata dokter, keluar flek terus-menerus seakan memberi sinyal
bahwa kandungan tidak dalam keadaan baik. Benar, ternyata kandungan saya
mengalami blighted ovum.
“biasanya 5 bulan setelah dikuret baru bisa hamil lagi”ungkap
dokter
“amin, terimakasih banyak dokter, kami permisi” pamit suami
saya. Sementara saya lunglai tak bertenaga.
1 bulan pertama setelah dikuret merupakan masa paling dramatis.
Namun bulan berikutnya, berkat dorongan suami dan keluarga, saya mencoba
bangkit. Saran dokter saya lakukan. Saya berusaha untuk mengkondisikan hati dan
pikiran untuk se-rileks mungkin. Menghindari perasaan negatif. Lalu lebih
mendekatkan diri kepada Sang Maha Segalanya.
Alhamdulillah, do’a kami diijabah. 3 bulan setelah dikuret. Saya
positif.
“koq cepet mbak ? 3 bulan sudah ‘isi’ lagi ?”tanya dokter
saat saya beserta suami memeriksakan kandungan.
“alhamdulillah” saya tersenyum. Suami juga.
“dijaga baik-baik mbak ya, biar nggak kayak kemarin lagi,
mas nya juga, istri dan calon anaknya dijaga dengan baik” nasehat dokter. Suami
saya mengangguk.
2 bulan kehamilan. Keluar flek lagi. Kali ini suami langsung
mengajak saya kedokter. Dokter berkata, kandungan saya hampir ‘jatuh’ lagi. Tapi
janinnya sudah berkembang dengan baik. Dokter pun memberi beberapa resep obat
yang salah satunya dimasukkan lewat
vagina. Dan dokter juga meminta saya untuk sepenuhnya bedrest hingga usia
kandungan 4 bulan. Jadi selama saya bedrest, suamilah yang mengerjakan semua
pekerjaan rumah. Love U.
Ya Allah jangan
biarkan kami kehilangan calon buah hati kami lagi
Alhamdulillah, Allah mengijabah do’a kami lagi. 7 hari
kemudian, darah berhenti keluar. Kami pun pergi ke dokter lagi.
2 bulan kemudian, dokter menyatakan kandungan saya sudah
kuat dan janinnya berkembang dengan baik.
Trimester kedua berjalan lancar.Trimester ketiga, saya mulai
dilanda kekhawatiran tak dapat melahirkan secara normal. Karena saya menderita
asma. Saya pun mulai rajin berolahraga, melatih pernapasan, demi bisa
melahirkan normal.
Dan ternyata memang tidak bisa melahirkan normal. Bukan karena
faktor asma, melainkan badan saya lemas tak bertenaga, berat badan turun
drastis, karena dilanda diare tepat 7 hari sebelum melahirkan dan alhamdulillah
tgl 12 november 2012, kami bertemu dengan putra pertama kami. Ken Al-Fatih.
![]() |
Ken, 2 bln |