Beberapa waktu yang lalu aku posting yang isinya tentang kegalauan untuk memasukkan si kecil sekolah di tempat yang mbois atau biasa saja. Di postingan tersebut pun sudah aku lengkapi dengan pertimbangan - pertimbangan untuk masing-masing pilihan tersebut. Pertimbangan yang imbang menurutku waktu itu.
Tidak cukup dengan posting di blog dengan harapan dapat masukan dari teman-teman pengunjung blog, aku juga mengungkapkan kegalauanku pada teman-teman di dunia nyata. Ada yang berpendapat untuk menyekolahkan si kecil ken di sekolah anak usia dini pada umumnya karena sesuai dengan kemampuan kantong aku dan juga nggak bakal bikin aku kebingungan soal biaya sekolah si kecil dan biaya sekolah pascasarjanaku sendiri. Mengenai yang kurang atau belum diajarkan di sekolah biasa, bisa disempurnakan di rumah dan soal kemungkinan si kecil ken, yang kebetulan tipe anak kinestetik dan mudah bosan, bakal mogok kalau sekolah di sekolah biasa bisa diakali dengan menggunakan sistem reward. Misal diajak ke playground atau apalah. Itu pendapat untuk pilihan memasukkan si kecil di sekolah yang biasa. Kemudian untuk pilihan yang kedua rata-rata pendapatnya didukung dengan kalimat: "InsyaAllah ada rejeki buat biaya sekolah".
Sebagai orang yang cenderung berpikir secara real. Aku tentu lebih condong ke pilihan yang memasukkan si kecil di sekolah yang biasa saja. Karena ya itu, paling masuk akal lah terutama soal kemampuan keuangan keluarga. Sedangkan untuk pilihan kedua, rasanya, kurang sreg gitu kalau hanya mengandalkan kata "InsyaAllah" tanpa ada usaha. Sementara aku belum punya bayangan usaha seperti apa yang bisa aku lakukan untuk sekiranya dapat membayar biaya sekolah anak usia dini yang kece itu. Jadi waktu itu, aku benar-benar sangsi dengan kalimat "InsyaAllah ada rejeki buat biaya sekolah".
Akan tetapi, meskipun aku sudah mantab dengan pilihan di sekolah biasa namun sebenarnya jauh di dalam pikiran aku nih, tersimpan rasa penasaran soal gimana perkembangan si kecil ken kalau ia sekolah di tempat yang oye dengan fasilitas yang oke, kurikulum yang ajib, dan tenaga pendidik yang baik serta banyak dimana satu kelas dengan jumlah siswa maksimal 18-20 siswa ditangani oleh 4 pendidik.
Jadi, setelah share sana sini, bisa dibilang, aku masih galau atau bingung memilih sekolah untuk si kecil ken. Karena itu aku pun beralih ke suami.
Sebenarnya, sejauh ini, rata-rata suami selalu mendukung apa yang jadi keputusanku. So bisa ditebak lah yah kalau suami juga bakal mendukung keputusanku soal sekolah si kecil. Tapi untuk yang satu ini aku nggak hanya butuh dukungan melainkan juga pendapat.
Suami adalah tipe orang yang juga lebih cenderung berpikir secara real. Ia tak menampik pendapat-pendapatku tentang dua pilihan tersebut. Tapi entah gimana, kata suami, ia lebih sreg dengan pilihan sekolah yang kece untuk si kecil ken. Pertimbangannya pun sama seperti aku. Lalu bagaimana soal biaya di sekolah yang kece itu ? Waktu aku melontarkan kalimat ini, dari raut wajahnya, memang tersirat keraguan. Tapi setelah aku pancing-pancing lagi, kali aja berubah pendapat, nyatanya ia tetap mantab memilih sekolah yang kece buat si kecil ken. Kata suami, "Soal biaya, nanti kita usahakan, insyaAllah ada jalan rejeki asal usaha sekuat tenaga".
"Iya tau, tapi kan...."
Ia langsung memotong kalimatku dengan menceritakan perjalanan hidupnya untuk menggapai gelar sarjana. (True story-nya suami : Gapai mimpi dengan wirausaha)
Setelah itu, ia juga mengingatkanku akan keresahan yang aku alami saat masa-masa awal menjadi seorang mahasiswa pascasarjana. Iya waktu itu aku memang resah soal biaya, tapi nyatanya, seiring berjalannya waktu keresahan itu hilang karena sudah berganti dengan pintu-pintu rejeki yang sepertinya dibuka begitu saja sama Allah untuk aku. Padahal waktu sebelum kuliah rasanya sulit banget bagi aku yang cuma ibu rumah tangga ini dapet kerja dapet duit. Asli.
Berbekal pandangan dari suami, akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk memutuskan bahwa sekolah anak usia dini untuk si kecil ken adalah sekolah yang mbois itu. Bismillah.