Kawin cerai, kawin cerai. Dua
kata itu sudah sangat familiar di telinga. Sudah menjadi hal yang biasa. Bahkan
di kalangan para artis hal ini sudah menjadi tren tersendiri. Baru beberapa
bulan menikah, bulan berikutnya sudah tersiar kabar akan menggugat cerai sang
suami.
Alasan yang biasa mereka (artis
yang akan bercerai) katakan pada saat konferensi pers tak lain dikarenakan masalah ketidakcocokan atau sudah tidak sejalan
dalam hal visi dan misi atau memang sepakat untuk berpisah (nah loh?). Namun Marini
Soerjosoemarno, sebagai salah satu artis tahun 70an yang pernah mengalami kawin
cerai, menambahkan, bahwa masalah ekonomi sering menjadi pemicu pula. Mungkin
karena pendapatan artis biasanya lebih tinggi dari suaminya, sehingga ia merasa
bisa lebih berpenghasilan.
Ya, faktor ekonomi merupakan
salah satu pemicu dari perceraian. Tak hanya dikalangan artis, di masyarakat
pun terjadi hal yang demikian. Penghasilan istri yang lebih tinggi dari suami,
berpeluang memunculkan sikap arogansi pada istri. Sikap arogansi tersebut
selanjutnya akan menimbulkan perasaan tak nyaman pada suami. Suami mulai merasa
direndahkan, diremehkan, bahkan tidak lagi dianggap sebagai suami yang
merupakan imam dalam keluarga. Tentunya hal itu akan memancing pertengkaran
yang lambat laun akan berakhir di sebuah meja persidangan.
Zaman dahulu, seorang isteri
hanya memiliki peran di rumah,
seperti memasak, mengasuh anak, dan lain-lain.,
sedangkan peran suami adalah bekerja dan
mencari nafkah untuk keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, di tengah
gandrungnya emansipasi wanita, peran istri telah berubah. Ia tak hanya berkutat
dengan aktivitas rumah tangga, melainkan ia juga bersosialisasi, dan berkarir, bekerja
untuk membantu ekonomi keluarga.
Islam, sebagai salah satu agama
di Indonesia, memiliki pandangan sendiri terhadap peran seorang istri yang tak
lagi hanya menjadi ‘penunggu’ rumah saja. Islam membolehkan seorang istri
bekerja dengan alasan rumah tangga memerlukan kebutuhan pokok yang mengharuskan
ia bekerja (Q.S. Al Qoshosh: 23-24) dan tenaga wanita tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat, dan perkerjaan tersebut tidak bisa dilakukan oleh laki-laki (HR.
Muslim 12/188) .
Disamping itu sejarah mencatat,
bahwasanya Rasulullah SAW punya seorang isteri yang tidak hanya berdiam diri
serta bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang wanita yang
aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah
menjalin kerjasama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti
isterinya itu berhenti dari aktifitasnya.
Bahkan harta hasil jerih payah
bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di masa itu,
belum ada sumber-sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan.
Satu-satunya adalah dari kocek seorang donatur setia yaitu isterinya yang
pebisnis kondang.
Tentu tidak bisa dibayangkan
kalau sebagai pebisnis, sosok Khadijah adalah tipe wanita rumahan yang tidak
tahu dunia luar. Sebab bila demikian, bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya
itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun di balik
tembok rumahnya.
Di sini kita bisa paham bahwa
seorang isteri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus
bisnisnya. Bahkan meski telah memiliki anak sekalipun, sebab sejarah mencatat
bahwa Khadijah ra. dikaruniai beberapa orang anak dari Rasulullah SAW.
Akan tetapi, meskipun Siti
Khadijah adalah seorang wanita karir yang hebat, namun ia tetap menjalankan
kewajibannya sebagai istri yakni melayani suami.
Diriwayatkan dalam hadits shahih,
dari Abu Hurairah r.a., dia berkata :”Jibril datang kepada Nabi SAW, lalu
berkata :”Wahai, Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah
berisi kuah, makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan
kepadanya salam dari Tuhan-nya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah
di syurga, (terbuat) dari mutiara yang tiada suara ribut di dalamnya dan tiada
kepayahan.” [Shahih Bukhari, Bab Perkawinan Nabi SAW dengan Khadijah dan
Keutamaannya, 1/539]
Selain itu, siti khadijah juga
tak segan, tak ragu untuk selalu memberi dukungan kepada Nabi tatkala beliau
diingkari, dicemooh, dan difitnah oleh umat manusia saat itu.
Khadijah r.a. berkata
:”Gembiralah dan teguhlah, wahai, putera pamanku. Demi Allah yang menguasai
nyawaku, sungguh aku berharap engkau menjadi Nabi umat ini.”
Nabi SAW tidak mendapatkan
darinya, kecuali peneguhan bagi hatinya, penggembiraan bagi dirinya dan
dukungan bagi urusannya. Nabi SAW tidak pernah mendapatkan darinya sesuatu yang
menyedihkan, baik berupa penolakan, pendustaan, ejekan terhadapnya atau
penghindaran darinya. Akan tetapi Khadijah melapangkan dadanya, melenyapkan
kesedihan, mendinginkan hati dan meringankan urusannya.
Pernikahan Rosulullah dan siti
khadijah seharusnya menjadi tauladan para wanita saat ini. Para wanita karir
yang menjadikan perbedaan financial sebagai alasan pemicu pertengkaran hingga
perceraian seharusnya melihat sosok siti khadijah. Penghasilan beliau yang
tentu saja lebih tinggi dari nabi tidak membuat siti khadijah bersikap arogan.
Ia tetap memposisikan Muhammad Saw sebagai suami, imam dalam keluarga dan juga Nabi dari Umat
Islam.
Rasulullah SAW bersabda
:”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku
ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika
orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan
bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-nya, 6/118]
Referensi :
Makasih ya sudah ikutan Mak :)
ReplyDeleteKembali kasih mak niar : )
Delete