Nyicil Rumah atau Sekolah Lagi

Nyicil rumah atau sekolah lagi ?.
Gitu amat pilihannya yak. Hahaha. Iya, gitu amat yak. Mbok ya, pilihannya itu kayak di iklan yang itu tuh, Kuliah atau nikah ? kan tsakep. *uhuy*

Jauuuuhhhhhh, sebelum kera sakti terbebas dari gunung lima jari, aku sudah memikirkan hal ini. Enaknya nyicil rumah atau sekolah lagi.

Jujur, waktu itu, hati aku lebih condong ke nyicil rumah. Rumah subsidi gitu yah. Kan cicilannya nyaman banget di kantong. Jadi biar mapan gitu. Nggak jadi kontraktor lagi. Pindah sana sini lagi. Menetap. Sementara kalau sekolah lagi, nggak hanya mikir spp, tapi juga transport dan biaya lain-lain. Meskipun cuma 2 tahun, tapi biaya yang diperlukan langsung mak tiung alias melambung.

Namun sayangnya suami and the gank (keluarga), dukung aku sekolah lagi.
"Rumah bisa nanti-nanti, sekolah lagi aja dulu, nanti biayanya kita usaha sama-sama, insyaAllah ada jalan" begitu kata suami. Sebuah pernyataan yang membuatku mengurung keinginanku karena Suami lebih ridho sama ridho rhoma eh rhido sekolah lagi. Jadi aku pun meng-iyakan hal tersebut dengan perasaan gundah gulana.

La gimana nggak gundah yes, ekonomi lagi nggak stabil, sementara aku harus sekolah lagi. Koq kayaknya nggak bijaksana banget gitu keputusannya. Kan pusing pala nyisanak. ahay. Tapi yaaa, mau nggak mau kudu manut suami kan. Ridho Suami Ridho Allah. So, tentu saja pilihaku jatuh ke sekolah lagi.

Trus urusan gundah gulali sekolah lagi gimana ?
Auk ah. Gelap. :D

Pelajaran yang Dapat Aku Ambil dari Sebuah Perdebatan

Akhirnya, aku putuskan perdebatan yang terjadi di akun facebook ku dengan, BLOKIR. Hahayyy.

Karena aku sadar bahwa perdebatan itu menuju ke arah yang nggak jelas. Aku mbahas itu, eee orang itu malah mbahas itu. Bahkan makin melebar. Dan buntutnya mengarah ke-ngejudge eikeh cyiinnn. Selain itu juga, aku sudah minta untuk mengakhiri perdebatan yang maknyonyor itu, ee tu orang malah nongol terus. Duuhhh ampuh dah. Lelah saya mah. Beneran. Lelah jelasinnya. Karena percuma. Tu orang sudah pakai kacamata kuda soalnya. Jadi nggak bisa melihat kanan dan kiri. Gitu. So blokir adalah langkah yang tepat. Yuhuuuu.

Perdebatan tersebut dimulai saat orang itu tidak terima dengan komentarku tentang MUI. Kata orang itu, aku nggak pantes komentar seperti itu. Karena aku bukan ulama, bukan siapa-siapa. Jujur, mendapat komentar tersebut membuatku.... SEDIH cyiiinnn. Terlebih lagi saat orang itu mulai mengkotak-kotakan Islam. Duuuhhh, nggak hanya sedih, bahkan juga prihatin, daaannn ngeri. Hhhhh....semoga deh, semoga orang itu, juga orang-orang yang memiliki pemikiran seperti itu, diberikan petunjuk oleh Allah Swt. Amin. #Pray

Komentarku atas MUI, disebabkan karena sudah dzalim terhadap buya syafii ma'arif. Koq bisa-bisanya seperti itu. Heran.

Aku mulai kenal dengan buya saat menonton acara kick andy sekitar 3 atau 2 tahun yang lalu. Dan setelah itu aku pun 'mengikuti' beliau lewat gogle, tulisan-tulisan yang beliau buat. Pengekoran puncak yaitu saat aku memperoleh buku karya buya, dengan judul Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan.

Aku masih ingat apa yang dikatakan ustadzku waktu mondok dulu. Kata beliau, untuk mengukur apakah ucapan atau tulisan seseorang itu tulus dari hati. Maka biasanya akan terasa di hati pembaca. Dan aku pun mengalami hal itu saat membaca buku buya. Bagi aku, membaca buku karya buya, laksana bertemu oase di tengah padang pasir. Membaca buku karya buya membuat rasa rinduku kepada pemikiran almarhum gusdur sedikit terobati. #RinduGusdur.

Nah dari point point di atas membuatku melontarkan kata seperti itu di tautan yang aku share. Tentang pendapat gusmus terhadap mui yang dengan mantabnya menjudge buya seperti itu. Duuhh na'udzubillah.

Artikel yang aku share itu lebih kepada kasus yang dihadapi buya. Bukan kasus koh ahok yes. Aku nggak ikut ikut soal koh ahok. Toh sudah banyak yang hendle kan ? Sudah diurusi oleh kapolri. Tinggal nunggu proses hukumnya aja.

Tapi, dari perdebatan yang gejong itu, ada beberapa pelajaran yang dapat aku petik. Yakni :

Pertama, Aku jadi tahu bahwa, masih ada yang tidak begitu paham dengan "kebesan dalam berpendapat, saling menghormati dan menghargai perdebatan pendapat".

Kedua, aku jadi tahu bahwa banyak yang masih memakai "kaca mata kuda".

Ketiga, tidak suka membaca. Apalagi jika disuruh membaca artikel artikel dari sudut pandang lain.

Keempat, asal komentar tanpa berusaha mencari informasi yang sebenarnya terlebih dahulu.

Kelima, mudah membagi orang ke dalam kotak-kotak.

Keenam, mudah ngejudge

Ketujuh, mudah tersulut emosi

Kedelapan, susah menerima perbedaan

Kesembilan, traffic medsosku cepet naik. Hahayyy.

kesepuluh, aku jadi tahu tentang kemampuanku dalam menghadapi orang-orang yang nggak jelas. Namun kata suami mah, aku belum siap seperti itu. #Glodak. Belum bener bener mampu bertahan dalam segi mental. #Glodak. Tapi iya sih, ada benernya, secara hati aku kan selembut bidadari. #MintaDidulitUpil . Jadi harus digembleng lagi dan lagi.

Nah dari point-point di atas, aku punya semburat rencana yang nangkring di hati. Yang jelas semburat tersebut lebih kepada semburat mengikuti langkah almarhum gusdur, buya syafi'i, gus mus, din syamsudin, dan sebagainya. Yang senantiasa menggembar gemborkan tentang Islam rahmatallil'alamin. Islam yang penuh rahmat lan kasih sayang di negeri ini.

Facebook  Twitter  Google+ Yahoo

21 Hari Kembali Muda Tanpa Ditunda Pakai Age Revival Theraskin

Mombeb, sejak aku menjadi guru, aku amat peduli dengan penampilan mulai dari wajah hingga pakaian. Sebab penampilan merupakan salah satu car...