Investasi Tanah untuk Biaya Sekolah Anak, Cukup Nggak, Ya?

Kemarin ada teman medsos yang share soal ukt tahun ini. Biayanya uwow fantastis banget. Asli, bikin aku yang semula ngantuk jadi melek terang benderang.

Aku sempat ngerasa sudah aman soal biaya sekolah bocil karena alhamdulillah sudah ada investasi berupa tanah khusus buat sekolah bocah. Tapi setelah lihat share biaya itu, aku jadi ngerasa bahwa apa yang aku dan suami siapkan belum ada apa-apanya. Apalagi setelah aku itang itung, kenaikan harga tanah di daerah tempat tinggalku, berubahnya kayak siput alias lamaaaaa.

Pikirku, nggak cukup deh kalau cuma menyiapkan investasi saja untuk sekolah anak. Mengingat ukt yang terus menanjak dari tahun ke tahun. Nanjaknya nggak nyantai pula. Langsung aja maktuing gitu. Terakhir aku baca artikel di kompas, katanya inflasi pendidikan naik sekitar 15% pertahun. Mak busyet dah ya. Jadi aku pikir tetap perlu tabungan khusus sekolah anak. Asuransi juga bisa, sih. Tapi kayaknya untuk dana pendidikan aku lebih milih nabung aja.

Jadi, belum terlambatlah yah, kalau aku dan suami mulai nabung dana pendidikan untuk bocah dari sekarang. Memang sih idealnya begitu si kecil lahir, udah langsung mengalokasikan penghasilan untuk tabungan sekolah anak. Tapi apalah daya, meleknya baru sekarang *hahay.

Buat buibu, mamis yang belum mikirin dana pendidikan anak. Yuk ah, kita beraksi mulai dari sekarang.

Pemikir yang Jadi Toxic Bagi Diri Sendiri?



Pemikir. 
Ya, aku begini ini. Pemikir parah. Apa apa aku pikirin. Nggak ada yang aku pilah pilih. Bahkan beberapa kali hal yang kadang kecil remeh temeh aku pikirkan sedemikian rupa. 
"Eh koq bisa begini, ya". 
"Seharusnya nggak gitu"
"Duh, coba aku nggak ngelakuin gitu tadi"
"Lain kali jangan sampai deh begitu"

Wadidawlah yah.
Terutama bagian yang mengandai-andai, menjika-jika, atau menyesali keputusan yang aku pilih sendiri. Maknyonyor, kan. Bikin keputusan sendiri, eee malah tenggelam dalam pikiran penuh sesal. Seharusnya, bukan rasa sesal yang dibesarkan yang dipikirkan sedemikian dalam. Melainkan cari hikmah atau pelajaran di setiap kegagalan dari keputusan.

Seringkali, aku terjebak dengan pikiranku sendiri. Hingga bikin aku memutuskan untuk berhenti, tidak melangkah, membiarkan hidup mengalir begitu saja. Karena aku nggak mau mengambil risiko. Aku takut nggak siap menghadapi risiko dari keputusan yang aku ambil. 

Sifat pemikir bukan suatu hal yang buruk. Namun jika berlebihan malah jadi toxic bagi diri sendiri. Karena buat tidak berani melangkah, mencoba sesuatu hal yang baru, karena takut dengan resiko yang mungkin terjadi. Padahal belum tentu apa yang dipikirkan tentang resiko-resiko yang mungkin terjadi tersebut akan terjadi beneran atau akan menjadi nyata atau benar-benar terjadi. Belum tentu. 


Facebook  Twitter  Google+ Yahoo