Menyesali Pilihan Jadi Ibu Rumah Tangga?

Aku tahu setiap pilihan pasti ada risikonya. Termasuk memilih menjadi ibu rumah tangga saja tanpa berkarir. Dan sekarang aku tengah merasai risiko dari pilihanku itu. Risiko yang belakangan kadang bikin aku uring-uringan. Menyesal? Apakah aku menyesali pilihan menjadi ibu rumah tangga?

Hampir 10 tahun aku menjadi seorang ibu rumah tangga. Namun hal ini tidak berarti apa-apa, rasanya. Kalau berkarir, biasanya, selama 10 tahun, tentu sudah bertabur bintang berupa semakin ahli, dan semakin bergaji tinggi. Sedangkan kalau jadi ibu rumah tangga saja selama 10 tahun, apa yang didapatkan? 

Kalau dipikir-pikir, ada beberapa hal yang aku capai selama menjadi seorang ibu rumah tangga. Aku, yang awalnya nggak bisa masak, jadi bisa masak. Yang mulanya kurang bersih kalau bersih-bersih rumah, jadi tahu cara bikin kinclong. Yang pertamanya nggak tertarik dengan anak-anak, jadi menyukai mereka. Banyak. 

Namun, pencapaian tersebut, rasanya, tidak berarti apa-apa karena toh siapa saja bisa mencapai itu, bukan? Ya menurutku begitu. 

Sementara itu, risiko dari pilihan jadi ibu rumah tangga pun menderas seiring berjalannya waktu. Kalau dibandingkan, dulu, saat awal jadi ibu, aku tidak peduli dengan risiko dari pilihanku ini. Sekarang? Aku tidak bisa berpaling karena rupanya berdampak pada orang-orang sekitarku. 

Aku baru menyadari, tepatnya sejak pandemi, bahwa risiko pilihanku jadi ibu rumah tangga ini tidak berdampak pada diriku sendiri saja. Melainkan juga berdampak pada orang lain terutama keluargaku. 

Andai aku dulu jadi ibu rumah tangga yang juga berkarir, mungkin ekonomi keluargaku tidak akan terlalu terseok-seok begini saat terkena dampak pandemi, orang tua tidak perlu khawatir, bisa jadi orang yang diandalkan, hingga keluarga tidak dipandang sebelah mata. Andai begini, andai begitu, andai-andai, berandai-andai. 

Sungguh, saat memilih menjadi ibu rumah tangga dulu, sama sekali tak terlintas bahwa risikonya akan seperti ini. Tapi siapa yang bisa menduga masa depan dengan pasti? Sama sekali tak terlintas di pikiran kalau pandemi akan melanda negeri ini lalu memporak-porandakan semuanya termasuk ekonomi. Ekonomi yang porak poranda lalu jadi pemicu dampak negatif lainnya. 

Ya, hidup memang begini, kan? Tidak pernah benar-benar berjalan mulus dan lurus. Kadang ada tikungan tajam, jalan yang tak rata, ada turunan, ada pula tanjakan. Untuk itu kita harus punya persiapan. Ya sudah seharusnya begitu. Biar apa? Biar nggak terlalu kaget saat tiba-tiba jalan hidup tidak lurus mulus seperti biasanya lalu sedih lalu nelangsa lalu patah hati lalu patah semangat. 

Sayangnya, aku luput membuat persiapan. 
Walhasil ya begini ini jadinya menyesali pilihan jadi ibu rumah tangga saja. 

Tapi ........




No comments:

Post a Comment

Biji bunga matahari namanya kuaci
Kupas kulitnya pakai gigi
Eee para pengunjung yang baik hati
Yuk tinggalkan komentar sebelum pergi.

Buah Pir Buah Naga
Jangan khawatir, aku akan mengunjungimu juga. :)

Facebook  Twitter  Google+ Yahoo

About Me

Halo Assalamu'alaikum, Aku Inda, guru tk. Aku  ibu dari dua bocil, ken dan yumna, yang suka menulis, suka kulineran, jalan-jalan...