[Cerpen] Hadiah



Hari ini aku terlambat ikut kelas mata kuliah filsafat. Bukan karena aku bangun terlalu siang melainkan karena ada demo buruh besar-besaran. 




Heran deh, perasaanku mereka demo melulu. Tuntutannya pun sama. Apalagi kalau bukan minta naik gaji. Mbok ya bersyukur sudah dapat gaji dhuwur. Banyak loh yang mendapatkan penghasilan di bawah gaji buruh tapi nggak pernah tuh demo-demo yang kadang sampai rusuh.

Duh, gara-gara demo nih, mood aku jadi berantakan. Pokoknya seumur hidup, aku enggak mau berurusan dengan yang berbau-bau demo, aktivis, atau apalah itu, aku nggak mau. 

Karena sudah jauh terlambat. Aku duduk-duduk di kantin kampus sambil baca novel Mariposa. 

"Baca novel cinta lagi?" 

Aku menoleh ke sumber suara dan Devdan berdiri tak jauh dari tempat dudukku. Seketika aku memalingkan wajah. Aku malas berurusan dengan kakak tingkat yang mau kadaluarsa. 

"Dih suka-suka aku lah, apa? Kamu mau minta tolong lagi? Ini sudah kelima kalinya loh, Kak"

"Yup, saya mau minta tolong seperti biasa"

"Ke Bu Marni?"

"Ya, tolong berikan hp ini ke Bu Marni, biar gampang kalau saya mau komunikasi ke Bu Marni, jadi saya nggak harus ke rumah Bu Marni atau minta bantuan kamu menyampaikan pesan ke Bu Marni lagi"

"Bagus deh, ya udah entar aku sampaikan ke Bu Marni"

"Makasih, ya" aku mengangguk. Dev lalu pergi. 

Bu Marni adalah tetangga 5 langkah dari kosku. Bu Marni seorang single mother dengan 1 anak perempuan. Saat ini ia sedang terbaring di rumahnya karena menderita kanker. 

Aku prihatin dengan kondisi Bu Marni. Pabrik tempatnya bekerja tidak mau memberikan hak Bu Marni berupa pesangon pensiun. Padahal Bu Marni berencana menggunakan pesangon tersebut untuk mengobati kanker yang dideritanya. 

Pokoknya kalau ingat Bu Marni, aku selalu berdo'a, semoga Allah mempermudah usahanya untuk sembuh dari sakit yang ia derita. Semangat ya, Bu Marni. 


***



Pyuuuhhhh....

Aku menghempaskan tubuhku di kasur khas anak kos. Lumayan berhasil menghilangkan rasa lelahku hari ini. Bayangkan, dua kali dalam sehari, aku terjebak macet. Lagi-lagi, karena demo. Duuhh, lama-lama aku benar-benar muak dengan demonstrasi. Pengin tak hiiihhhh.

Sebelum pulang ke kos, aku tadi sempat singgah ke rumah Bu Marni dan disambut oleh anak tunggal Bu Marni yang bernama Ika. 

"Ka, ada titipan dari Dev buat Ibu kamu" aku menyerahkan tas kecil ke Ika. 

"Kata Dev, biar mudah komunikasi sama Ibu" jelasku. Ika sibuk membuka tas kecil lalu mengeluarkan isi didalamnya yakni sebuah hp. 

"Kak Dev ngasih hp? enggak salah nih, Kak?" Ika nampak kaget. Aku menganggukkan kepala saat Ika menoleh padaku. Lalu ia pun kembali fokus pada hp pemberian Dev.

"Ka, aku boleh tanya, enggak?" 

"Tanya apa, Kak?" 

"Berarti boleh, ya?"

"Iya boleh"

"Emangnya ada hubungan apa antara Ibu kamu sama Devdan? atau Devdan lagi berusaha ambil hati ibu kamu biar hubungan kalian direstui, ya?" tanyaku penasaran. 

Devdan begitu getol membantu Bu Marni. Zaman sekarang mana ada yang tulus, kan? Ada, tapi ya jiaraang bianget. Jadi aku pikir enggak mungkin deh, kalau Devdan enggak ada maksud tertentu? Ya, kan? 

"Enggak ada hubungan apa-apa, Kak. Kak Dev cuma mau bantuin ibu mendapatkan pesangon." 

"Cuma itu?" tanyaku tak percaya. 

"Iya, Kak. Emmm..Kak Dev itu baik banget orangnya. Kata Ibu, beberapa teman kerja Ibu yang punya kasus sama, juga dibantu sama Kak Dev sampai berhasil mendapatkan hak mereka" jelas Ika. Ia meletakkan hp di lantai. Ia arahkan pandangan matanya ke langit-langit rumah. Aku tahu, Ika tengah menahan air matanya yang berebut keluar. 

"Ka.." panggilku samar. 

"Sebenarnya aku khawatir dengan Ibu, Kak. Makin ke sini kondisinya makin lemah. Aku takut" Ika menunduk. Sebulir air mata ku dapati jatuh dari mata Ika. 

"Ika...." aku mendekati Ika, lalu memeluk tubuh gadis yang masih duduk di kelas 2 SMA itu. 

"Sebulan lagi Ibu ulang tahun, aku enggak bisa ngasih hadiah apa-apa selain do'a, semoga dalam jangka waktu sebulan Kak Dev sudah berhasil memperjuangkan hak Ibu, jika iya, ini pasti akan jadi hadiah terindah buat Ibu"

Aku mengusap rambut panjang Ika.

"InsyaAllah, Kak Dev pasti berhasil, Ka" 


***


Setelah mendengar ucapan Ika, aku jadi memikirkan Dev berhari-hari. Pikiranku didominasi sebuah fakta bahwa Dev ternyata sosok yang suka membantu orang lain. Selama ini, aku menganggap Dev hanya laki-laki payah sebab tak bisa lulus kuliah tepat pada waktunya.

"Tapi ternyata, Devdan itu baik dan ....."

Ah sudahlah, aku harus berhenti memikirkan Dev. Toh, tak ada untungnya buat aku memikirkan si Devdan kakak tingkat yang mau kadaluarsa itu, bukan?

Demi mengalihkan pikiranku akan Devdan, aku pun pergi ke toko buku. Namun di tengah perjalanan, lagi, aku bertemu dengan orang-orang yang akan demo. Ish ish ish, demo lagi, lagi-lagi demo, nggak bosan apa ya mereka? Gara-gara mereka nih, aku tidak bisa mempercepat laju motorku karena di sisi jalan yang aku lewati nyaris dipenuhi para pendemo itu. Mana cuaca tengah panas-panasnya lagi. Apa aku berhenti dulu sampai para pendemo ini pergi? Ah iya, begitu sajalah.

Aku melayangkan pandangan mencari tempat teduh. Sayangnya, bukan tempat teduh yang kujumpai melainkan seseorang yang sepertinya mirip Devdan. 




Tapi sepertinya tidak mungkin itu Devdan. Lawong penampilan Dev itu rapi, tidak seperti penampilan sosok yang mirip Dev. Sosok mirip Dev ini memakai jeans belel, kaos, kemeja sebagai outer, serta membawa megaphone. 

"Hannah?" 

Tapi, suara itu, suara Dev. Berarti sosok yang mirip Dev itu tak lain adalah Dev. Ya itu Dev, Devdan. 

"Kamu mau kemana?" tanya Dev yang sudah berdiri di depan motorku. 

"Saya butuh bantuan kamu, Han"

"Apa lagi?"

"Tolong kamu ke Bu Marni, saya hubungi hpnya nggak bisa-bisa"

"Aku nggak janji, Kak" 

"Maksud kamu?"

"Dah ya, aku pergi" 


***


Gila, gila, gila, gila, sudah 2 hari ini pikiranku penuh Devdan. Berapa kali pun aku berusaha menghapus pikiranku, sebanyak kali itu juga ingatan soal Devdan kembali hadir dipikiran. 

Aku kenapa, ya? Ah enggak mungkin, enggak mungkin aku suka sama dia, kan? Ya memang sih, memikirkan dia saja sudah bikin aku deg-deg an. Tapi kalau ingat dia seorang aktivis, rasanya aku jadi enggan. 




Aku melangkah gontai ke kelas. Rupanya kelas masih kosong. 

"Han, saya cari kamu kemana-kemana, gimana Bu Marni? Kamu sudah ke sana, kan?" tanpa diundang, Devdan masuk ke dalam kelas lalu menghampiriku. 

"Sudah, hp yang kamu kasih dijual, buat biaya transport, makan, lain-lain selama Bu Marni berobat" terangku. Sekilas aku menangkap raut terkejut di wajah Dev. 

"Kamu nanti siang ke Bu Marni, kan?" tanya Dev..

"Enggak"

"Oooo... saya mau ke sana nanti siang, kamu nanti bisa pulang bareng saya, kos kamu dekat dengan rumah Bu Marni, kan?"

"Aku enggak ke sana"

"Emmm...ya sudah kalau gitu, aku balik dulu, ya" pamit Dev. Aku tak peduli, mauku begitu, tapi nyatanya mataku tak lepas memandangnya sampai hilang di balik pintu. Duuhh, hati sama mataku jadi enggak sinkron gini gara-gara Devdan. 

Tapi sebelum menghilang di balik pintu, ia sempat berbalik lalu melemparkan senyum ke arahku. Aku terhenyak melihat senyumnya. Gila, gila, gila, dia makin damn saja. 


***


Akhirnya aku di sini, di rumah Bu Marni bersama Dev. Ya, aku pulang bersama Dev. Dia menungguku lama, katanya. Karena aku merasa tidak enak menolak, jadi aku iyakan saja tawaran pulang bareng dengannya. Kebetulan juga aku tidak membawa motor. 




Sepanjang jalan, kami tak bicara. Aku bersyukur, sih. Dengan begini aku bisa menutupi rasa gugupku saat dibonceng dia. Eh apa? Aku gugup? enggak, enggak, enggak, enggak ada dalam kamus aku suka dengan aktivis. Enggak, aku benci aktivis, titik.

Tiba di rumah Bu Marni, Ika menyuguhkan air putih untukku dan Dev. 

"Ka, sudah kamu siapkan yang saya minta beberapa hari lalu?" tanya Dev to the point.

"Sudah, Kak. Bentar ya aku ambil" Ika berjalan masuk kamar. Tak lama ia keluar dengan map berwarna coklat. 

"Ini, Kak. Di dalamnya ada Jamsostek, slip gaji Ibu, apalagi ya, insyaAllah semuanya yang Kak Dev minta sudah ada di dalam sini" 

"Oke makasih, ya" ucap Dev sembari mengecek isi map coklat yang sudah ada ditangannya. 

"Oya, mungkin besok saya sama teman-teman organisasi akan menggalang dana untuk Bu Marni. Dana yang terkumpul nanti bisa kamu pakai untuk biaya selama menemani Ibu kamu berobat.  Do'akan dapat banyak, ya" 

"Pasti, Kak. Makasih banyak, Kak. Terima kasih sudah bantu aku dan Ibu". Kata Ika. Dev hanya tersenyum pada Ika lalu padaku. 

Ya ampuuunnn, kenapa dia harus senyum padaku lagi. Kenapaaaa? Enggak, aku enggak boleh luluh sama senyuman seorang aktivis yang demo-demo bikin susah bikin rusuh.


***


Oalaaahhh...ternyata begini ya rasanya bisa bantu orang. Perasaan senang yang aku rasakan kali ini rasanya beda banget. Apalagi waktu aku lihat ekspresi Ika saat aku menyerahkan hpku yang tidak terpakai padanya. Ika tersenyum lebar hingga nampak deretan giginya yang berbaris rapi jali.

Mungkin ini alasan Dev bantu Bu Marni. Karena ia bisa merasakan rasa senang yang unik nan luar biasa.

Duuh, coba kalau Dev bukan aktivis, mungkin aku tidak akan menahan rasaku padanya. Eh, apa-an, sih? Enggak, aku enggak punya rasa apa-apa sama Dev. Yakali aku suka sama kakak tingkat yang mau kadaluarsa plus aktivis pula. 

Sudah, ah. Waktunya aku tidur. Malam semakin dalam.


***


Kemarin itu, adalah kali pertama aku memberikan sesuatu yang bisa dibilang cukup banyak pada orang lain. Biasanya, paling banyak, yaaaa 100 ribuan. 

Aku sendiri heran mengapa aku bisa berubah sedrastis ini. Ah, sepertinya karena ada gejolak di hati aku manakala aku mengingat bagaimana perjuangan Bu Marni yang didukung Ika untuk sembuh dari kanker. Nah, begitu aku membantu Ika, rasanya gejolak itu berubah jadi sebaran bunga yang wanginya bisa menentramkan dan melegakan jiwa. 


Sekarang, aku melakukan itu lagi. Aku membantu Bu Marni lagi. Bodo amat soal keinginanku yang ingin menghadiahi diri sendiri skincare yang lagi viral saat aku ulang tahun nanti. Biarlah, Bu Marni dan Ika lebih membutuhkan uang. Lagipula aku bisa menabung lagi dari penghasilanku bekerja sebagai guru les privat. 

Aku memberikan uang itu pada Devdan di kantor organisasi buruh. Tak enak rasanya jika aku memberikan langsung pada Ika. 

Saat aku memberikan uang itu, aku sempat cerita ke Devdan kalau uang itu adalah uang tabunganku yang niatnya akan aku gunakan untuk menghadiahi diri sendiri saat hari ulang tahunku tiba nanti. Devdan tersenyum dan hatiku menghangat seketika. 

Iya, aku mulai menceritakan hal kecil tentangku padanya. Aku tahu apa yang kulakukan ini adalah tanda aku memang benar-benar menaruh rasa pada Devdan. Tapi tenang, tekadku masih bulat, aku tidak mau menjalin hubungan dengan aktivis, aku mau rasa ini berhenti berkembang. 

Sebelum aku pamit dari kantor organisasi buruh yang Devdan ikuti, ia menggamit tanganku dan membawaku duduk di kursi di bawah pohon rindang di belakang kantor.

"Terima kasih karena kamu sudah membantu Bu Marni, salah satu anggota organisasi kami. Saya dan teman-teman sudah melakukan tahap demi tahap untuk mendapatkan hak Bu Marni dan beberapa anggota yang bernasib sama. Saya dan teman-teman sudah melakukan Bipartit, namun tidak digubris oleb pabrik. Oleh sebab itu kami melakukan demonstrasi sebagai salah satu cara kami menarik perhatian pihak pabrik, masyarakat, wartawan, dan pemerintah setempat. Namun lagi-lagi, kami masih menemui jalan buntu. Kemudian kami mengajukan tripartit, pertemuan antara yang berwenang di pabrik, Disnaker dan perwakilan buruh. Saya dan teman-teman berharap di titik ini kami berhasil. Namun jika tidak, kami bertekad akan turun ke jalan dan demo lagi" 

"Lalu untuk apa kamu menjelaskan hal itu ke aku, Kak?"

"For your information" kata Dev lalu memberikan senyum manis padaku. 

"Saya tahu seperti apa penilaianmu pada saya dan teman-teman buruh. Hannah, saya jamin, penilaian kamu tentang saya itu salah. Kamu perlu tahu, aktivis, demonstrasi, tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Kami melakukan demo karena ada pemicunya, karena ada yang kami perjuangkan. Andai saja jika pabrik memberikan hak buruh sebagaimana aturan undang-undang yang berlaku, kami tidak akan turun ke jalan" lanjut Dev panjang lebar. 

Aku paham maksud Dev. Namun yang tidak aku paham bagaimana dia bisa tahu kalau aku benci aktivis, demo, dan segala yang terkait. Soal ini aku hanya pernah cerita ke satu orang. Masa orang itu yang bilang ke Dev? Ah, enggak mungkin.

"Dih, sok tahu, sudahlah aku pergi" aku pamit. Aku lepaskan genggaman tangan Dev. Lalu beranjak melangkah. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, ..., sepuluh langkah, Dev tidak mengejarku rupanya. Padahal aku yakin Dev akan mengejarku karena tadi aku merasakan genggaman tangannya yang terasa lembut, hangat dan kokoh. 

Seharusnya aku sadar diri bahwa tidak mungkin Dev mengejarku dan memintaku tidak pergi. Siapa aku bagi Dev? Bukan siapa-siapa, jadi tidak seharusnya aku mengharapkan hal itu pada Dev? 

***




Hari ini, hari ulang tahunku. Keluarga, teman-teman kuliah, teman kerja, dan semuanya, sudah mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Beberapa ada juga yang memberiku kado ulang tahun. Senang? seharusnya begitu, seharusnya aku merasa senang. Tapi entah kenapa, rasanya ada yang kurang. 

"Kak Hannah" 

Eh seperti suara Ika. Aku melongok kan kepala di jendela kamar kosku yang terletak di lantai dua. Ika nampak berdiri tepat menghadap jendela kamarku. 

"Apa, Ka?" sahutku dari Jendela.

"Temenin yuk, antar pesanan nasi" 

Ajakan Ika laksana angin segar bagi aku yang tengah dilanda rasa hampa. Pikirku, daripada aku di kamar berkubang sendu lebih baik aku terima ajakan Ika. 

"Kabar Ibu gimana?" Aku memulai percakapan di angkot yang kami tumpangi.

"Alhamdulillah, beberapa hari lalu ibu sudah menjalani operasi pengangkatan payudara, tempat kanker berada. Sekarang tinggal kemoterapi 2 sampai 3 kali trus rongsen payudara untuk memastikan sel kanker sudah tidak ada." Jelas Ika.

"Alhamdulillah, jangan lupa setelah ini kamu juga ibu mulai gaya hidup sehat ya, Ka" saranku yang direspon dengan anggukan kepala Ika. 

"Soal pesangon gimana, Ka?"

"Oiya, aku lupa cerita, alhamdulillah  pabrik akhirnya mau memberikan hak ibu penuh. Aku senang banget, Kak. Aku do'akan semoga pabrik semakin sukses." Raut bahagia tergambar jelas di wajah Ika. Aku ikut senang dengan kabar ini. 

"Ulang tahun ibu kali ini hadiahnya luar biasa banget, Kak. Hadiah itu berupa Kak Dev yang berhasil mendapatkan hak pesangon ibu, trus operasi ibu yang berhasil, dan sebagainya". Cerita Ika. 

"Trus kamu sekarang usaha makanan sama Ibu kamu?" 

"Ini kalau aku pas libur sekolah aja, Kak. Aku nggak mau Ibu capek. Aku mau Ibu di rumah, biar aku yang kerja sepulang sekolah di workshopnya Kak Dev"




"Eh, kak Dev punya workshop?"

"Punya, Kak. Kak Dev punya usaha fotografi, buka kelas sama jualan barang-barang yang berhubungan dengan dunia fotografi" jelas Ika panjang lebar. 

"Syukur, deh. Aku ikut senang, Ka" 

Kami hening. Lalu tak lama Ika meminta berhenti ke pak supir angkot. Katanya sudah sampai. 

"Ka, ini kan arah kantor organisasinya Kak Dev" 

"Iya, nasi ini pesanannya kak Dev" 

"Aku tunggu di sini aja, ya Ka"

"Sebentar aja, Kak, ngasih ini ke Kak Dev abis itu langsung pulang, mau ya kak?"

Akhirnya aku mengiyakan permintaan Ika. Kedatangan kami disambut banyak orang yang ada di kantor. Sepertinya mereka akan mengadakan pertemuan. 

"Duduk sini dulu, Kak, Kak Dev masih di sana, tuh" Ika menunjuk sebuah panggung kecil. Devdan ada di sana dengan tangan kanan memegang mikrofon. 

"Terima kasih, Ika, sudah membawa Hannah ke sini" kata Devdan sembari mengacungkan jempolnya pada Ika.  

Aku terkejut lalu menoleh ke Ika sembari mencari tahu tujuan Devdan mengatakan itu di depan orang banyak. Sayang, aku hanya menemukan ekspresi sumringah di wajah Ika. 

Duh, jangan-jangan Dev mau memberitahukan semua orang kalau aku membenci aktivis dan segala yang terkait dengan demonstrasi. Aku menggigit bibir untuk meredam rasa khawatir.

Dev turun dari panggung dengan tangan masih membawa mikrofon. Ia berjalan ke arahku dan Ika. Aku takut, takut dikeroyok. 

"Hari ini kamu ulang tahun, kan?" Tanya Dev. Aku mengangguk samar. 

"Ini hadiah buat kamu, silakan kamu buka" 

Aku mengambil sebuah kotak yang diberikan Dev padaku. 

"Bukalah" perintah Dev.

Aku membuka kotak tersebut. Begitu tahu isinya, sontak aku menutup mulut. Agar aku tidak bersorak-sorai. Di dalam kotak itu ada paket skincare yang aku damba serta sebuah kertas bertuliskan 'Maukah kamu menikah denganku, Hannah?'.

"Kak Dev, ini..." Kalimatku menggantung karena Dev mulai bicara. 

"Will you marry me, Hannah?" Kata Dev menatapku dalam. Aku pun menatapnya. Aku mencari sesuatu di tatapan mata Dev dan aku menemukannya. Sesuatu itu adalah kesungguhan. Dev serius mengatakan itu padaku. 

"Apa? Apa maksud kamu, Kak" tanyaku.

"Jawab ya atau tidak, sekarang" 

"Dih maksa, ya udah aku enggak mau"

"Koq, gitu? Tapi ya sudahlah, saya akan mundur teratur jika memang kamu menolak saya" Devdan hendak beranjak, namun ku tahan dengan menarik tangan Devdan. 

"Aku enggak mau sebelum kamu dan aku lulus kuliah" 

"Berarti kamu mau?" tanya Dev memastikan. 

"Mau, Kak" jawabku tersenyum lebar. 




Seketika riuh. Semua yang hadir bersorak. Ada yang menggoda, ada yang memberi selamat, dan ada jg yang nyinyir. Dev lalu membagikan nasi yang dibawa Ika pada orang orang yang hadir di sana. 

"Ka, makasih ya, berkat bantuan kamu, saya bisa mendapatkan ni anak" ucap Dev pada Ika. Ika meresponnya dengan anggukan kepala. Sedangkan aku diliputi seribu tanya. 

"Jadi kalian kerjasama? kamu bilang semua yang aku ceritain ke kamu, Ka?"

"Hehe...maaf  ya, Kak. Kak Dev tu yang nyuruh" 

"Ya begitulah" jawab Dev singkat sambil tersenyum.

"Koq bisa kalian kerjasama, Ka, ceritain?" 

"Minta ceritain kak Dev aja, ya Kak, biar lebih valid, terutama pas bagian kak Dev mengamati kak Hannah secara sembunyi-sembunyi sejak lama" Ika nyengir. Aku beralih menatap Devdan. 

"Iya, saya akan cerita ke kamu, tapi jangan sekarang ya, bisa panjang nih ceritanya kalau saya tuangkan di sini semua, bukan jadi cerpen malah jadi novel"

Aku mengangguk setuju. Dev benar. 

Sama seperti Bu Marni, ulang tahunku kali ini juga paling berkesan. Bagaimana tidak, hadiah yang aku dapatkan adalah dilamar oleh laki-laki yang belakangan ini begitu aku kagumi kepribadiannya, Devdan

***

Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel.




***


Ket:

Cr. Foto IDNtimes, CNBC, liputan6

Narasumber terkait buruh: Ketua organisasi buruh SPBI. 

Narasumber terkait kanker: Anggota keluarga. 


Hai 2021, Ini Resolusiku

 

Assalamu'alaikum,


Ini blogpost keduaku di tahun 2021.  

Yeayyy.

Yippiieee.

Hurrayyy.


2020 lewat sudah. Seneng dan bersyukur Alhamdulillah. Meskipun apa yang ada di 2020 masih ada apalagi kalau bukan si Corona tapi entah kenapa aku begitu optimis insyaAllah tahun ini hari hari akan mulai terasa manis untuk semua orang aamiin. 


Tadi, sebelum nge-draft blogpost untuk awal tahun, aku sempat ngintip blogpost-blogpost ku yang lalu di www.indachakim.com. Niat hati mau ngintip resolusi tahun 2020, eee ternyata zonk. Aku nggak bikin donk. Yang ada malah resolusi tahun 2019. 


Koq bisa ya aku nggak bikin resolusi 2020? Biasanya kan aku bikin. Etapi kalau diingat ingat awal tahun 2020 itu aku lagi rempong-rempongnya ngejar skor TOEFL sebagai syarat ikut yudisium. Trus juga rempong-rempongnya nyiapin pindahan ke Bali. Jadi ya kayaknya gara-gara itu bikin aku nggak inget untuk bikin resolusi 2020. 


Aku baca-baca resolusi 2019, hanya tiga yang terwujud. Satu-satunya resolusi di dunia nyata terwujud, dan hanya dua resolusi dari lima resolusi di dunia blogging yang terwujud. Kemana ajeee gueeeeh? Entahlaaahhh...

Payah, ya? 

Siapa?

Akoh. 

Yok ai. 

Dari lima aku cuma bisa mewujudkan 2 resolusi saja. Fayaaahhhh....

Lah...

😣


Lalu gimana resolusi yang sekarang? Mau ngelanjutin resolusi 2019 nggak? Terutama resolusi untuk dunia blogging? 

Belum deh kayaknya, nggak berani karena sekarang susah banget punya waktu luang. 


Ceileee guayaaa... 


Nggak, aku nggak lagi gaya, cuma pencitraan doank. 


Simi siji bambang

😅


Tapi emang begitu, sih, 8 atau 9 bulan belakangan ini memang agak susah punya waktu luang. Lawong sekarang bikin blogpost aja bisanya cuma pas semuanya sudah tidur. Itupun (seringnya) 1 blogpost bisa sampai berhari-hari aku nulisnya. Lamaaaa... 

Selama kamu membalas perasaanku #halah 😁


Ya, sejak aku dan keluarga kecilku pindah domisili dari Jombang Jawa timur ke Bali, aku lebih sering menghabiskan waktu di dunia nyata. Aku memang sengaja  memperbanyak porsi waktu di sana. Karena ada banyak hal yang harus aku (dan suami) mulai lagi dari awal. Mulai dari membangun relasi yang baru, usaha baru, sekolah baru buat si kecil, dan sebagainya. 


Hal ini sepertinya masih berlanjut sampai tahun ini. Insyaallah. Tapi semoga tahun ini aku punya lebih banyak waktu untuk dunia blogging dan segala hal yang aku dan suami rintis dari awal di dunia nyata, berjalan dengan lancar. Do'akan yaaaa manteman. Maturnuwuuunnn sebelumnya. Do'a baik kalian akan kembali pada kalian juga. 😍😊

Resolusi Blogging 2021

Jadi resolusi di dunia blogging di tahun 2021 ini adalah aku mau usahain rajin update blog aja, blog yang ini www.indachakim.com sama blog satunya metimemami.blogspot.com. Untuk blog yang kedua ini, rencananya mau aku pakai buat share soal pariwisata di tempat tinggalku yang sekarang. Niatku, ingin banget bantu mempromosikan pariwisata di sini yang nggak kalah cakep dari wisata wisata yang sudah terkenal di Bali. Do'akan aku bisa ya Manteman. Bisa Istiqomah ngelakoni dan mewujudkan niat yang sudah terpatri di hati. 


Soal spam score (resolusi 2019) gimana? Aku mau minta bantuan sama penyedia jasa penghapus spam aja lah. Cuma sampai saat ini aku belum nemu nih sama si pahlawan spam. Semoga segera ketemu deh biar rebes urusan per-spam-an yang katanya berpengaruh sama power blog. Teman teman kalau tahu soal penyedia jasa penghapus spam score, tolong kasih tahu aku yaaa. Tirimikisiiihhhhh...


Jadi kayaknya gitu ajalah blogpost awal tahun ini. Blogpost yang isinya banyak minta do'a dari kalian ya, Manteman. Hahay. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih banyak atas do'a kalian. 

Harapan 

Harapanku di dunia nyata, semoga di tahun 2021 ini, pandemi covid-19 segera amblas terutama dari bumi Pertiwi. Insya Allah tahun ini lebih baik dari tahun 2020. Karena kita sudah dilatih untuk tangguh, dilatih untuk sabar, dilatih untuk kembali membumi, dilatih untuk terbiasa bersyukur pada hal hal yang kecil bin sederhana sekalipun, dilatih untuk terbiasa menggantungkan harap pada-Nya, dan dilatih untuk selalu melantunkan do'a pada-Nya. Ya, di tahun 2020 lalu, rasanya, kita dilatih untuk taqarrab ilallah, dan lebih dekat dengan keluarga, Ya, kan? 




So, di tahun ini, mari kita tetap melakukan hal-hal baik yang kita lakukan saat 2020 lalu. Kalau perlu tingkatkan lagi, yuk, terutama dalam hal menjaga kesehatan juga kebersihan. Yuk, kita bisa yuk. Kita bisa say hello pada 2021 dengan membawa serta rasa optimis dapat menyambut pelangi di tahun ini setelah hujan deras di tahun lalu. 


Bismillah, 

Semoga,

Aamiin.

Let's Read, Partner Ibu Hidupkan Dongeng di Rumah

 

Menghidupkan dongeng agar anak suka baca buku


Bund, beberapa waktu lalu, aku sempat resah dengan tingkah anakku yang susah banget diminta baca buku. Alasannya adaaaa aja. Kalaupun ia mau baca buku, itu pun nggak pernah mau baca lama-lama. 

"5 menit aja ya, Ma, abis itu aku main" gitu katanya. 


Pernah, aku memaksanya membaca buku dengan durasi waktu lama, eee dia malah ngambek dan walhasil nggak jadi deh baca buku. Duuuhhh... Gemas. 


Sebab Anakku Tidak Suka Baca Buku


Ini semua karena aku sih, Bund. Aku sadar diri. Anakku begitu bisa jadi (banget) karena aku nggak mengarahkannya untuk suka membaca buku. Aku nggak memberikan contoh padanya untuk rajin baca buku. Aku lebih sering pegang gawai daripada buku. Kalaupun aku pegang buku, itupun buku catatan pembukuan keuangan Kedai Makanan yang tengah aku tekuni bukan buku bacaan. Aku payah ya, Bund? Ho oh. 


Tapi, kalau aku mau usaha membuat anakku suka baca buku, rasanya, belum terlambat kan ya, Bund? Bener, nggak? 


Jadi aku mau mulai berusaha agar anakku suka baca buku, Bund. Kalaupun nggak bisa sampai ke titik suka baca buku, yaaaa minimal dia nggak ngambek lah kalau aku minta ia baca buku lama-lama, atau  langsung mau gitu kalau aku memintanya membaca buku tanpa perlu adanya imbalan-imbalan seperti imbalan boleh nonton YouTube, main game, dan sebagainya.  


Agar Anak Suka Baca Buku


Nah, langkah pertamaku untuk membuat anakku suka membaca  buku adalah dengan menghidupkan dongeng di rumah. Kenapa dongeng?


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Erlin menunjukkan bahwa metode dongeng dapat menumbuhkan minat baca anak. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk pada anak sekolah dasar menunjukkan metode dongeng dapat digunakan untuk meningkatkan minat baca anak sekolah dasar dimana yang awalnya hanya sebesar 25% anak yang menunjukkan minat membaca buku berubah menjadi 61% lalu meningkat sampai 100%. Nah berdasarkan dua penelitian di atas dapat dikatakan mendongeng dapat digunakan untuk menumbuhkan hingga meningkatkan minat baca anak. Ini tentu cocok dengan tujuanku yang ingin menumbuhkan minat baca anakku. 


Bund, selain karena hal di atas, dongeng juga memiliki manfaat lainnya. Salah satunya sebagai stimulus kecerdasan anak seperti yang diungkapkan Einstein yakni :

"If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales."


Manfaat mendongeng untuk anak


Adapun caraku untuk menghidupkan dongeng di rumah adalah dengan sering mendongeng untuk anak. 


Eeemmm... tapi masalahnya bisa nggak ya aku mendongeng? Jangan-jangan aku malah dicuekin nih. Jangan-jangan anakku nggak tertarik nih. Kalau begini mah, bisa gagal donk aku mendongeng. Waduuuhhh, gimana-gimana?


Kata Kak Ariyo Zidni, dalam sindonews(dot)com, ada faktor penting yang harus diperhatikan Ibu jika ingin mendongeng yakni percaya diri dalam bercerita, variasi dalam memainkan suara, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh secara sederhana. Kalau sudah menguasai faktor penting tersebut, maka aktivitas mendongeng untuk anak akan berhasil dengan gemilang. 


Lalu gimana yaaaa caranya agar aku bisa memiliki semua faktor penting tersebut sebelum aku mulai mendongeng? Apa ya, Bund? Ah, sepertinya aku harus menstimulasi kemampuan mendongengku dulu deh, Bund. Karena dengan melakukan ini maka aku bisa memiliki semua faktor penting dalam mendongeng. 


Cara Menstimulasi Kemampuan Mendongeng


Let's read stimulasi kemampuan mendongeng ibu


Nah, menurutku, cara menstimulasi kemampuan mendongeng yakni dengan sering-sering membaca buku cerita bergambar. Mengapa demikian?


Buku cerita bergambar dilengkapi dengan gambar-gambar yang mendeskripsikan cerita. Nah, dari sini aku bisa belajar mendeskripsikan cerita bergambar ke dalam kata-kata. 


Di buku cerita bergambar, kadang, menunjukkan ekspresi dari tokoh dalam cerita. Nah, dari sini, aku bisa belajar atau meniru ekspresi yang ada di buku cerita bergambar.


Aku juga bisa melakukan improvisasi dari melihat gambar-gambar yang ada di buku cerita bergambar. 


Trus aku yang tidak pandai merangkai kata alias suka mbulet kalau ngomong, juga bisa belajar merangkai kalimat yang mudah dipahami anak melalui buku cerita bergambar tersebut yang mana rangkaian-rangkaian kalimatnya sudah dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dipahami anak-anak. 


Stimulasi kemampuan mendongeng ibu


Let's Read Partner Ibu Menghidupkan Dongeng di Rumah.



Let's read partner ibu menghidupkan dongeng di rumah


Jadi Bund, agar kemampuan mendongengku makin terasah aku perlu banyak membaca buku cerita bergambar. Sayangnya, di rumahku tidak banyak buku cerita bergambar, Bund. Tapi aku nggak terlalu khawatir soal ini, karena ada aplikasi Let's Read


Let's read adalah perpustakaan digital yang didalamnya berisi buku-buku cerita bergambar dengan berbagai macam pilihan tema cerita, pilihan bahasa, hingga pilihan tingkat kemampuan membaca anak. 


Let's read


Nah, dengan keunggulan yang seperti itu, rasanya tepat untuk menjadikan Let's Read sebagai Partner Ibu Menghidupkan Dongeng di Rumah. 


Jadi kalau aku ingin mendongeng misalnya tentang hujan, aku bisa mencari buku cerita bergambar tentang hujan di Let's Read. 


Kemudian, kalau aku ingin mendongeng untuk anak usia 3 tahun, aku tinggal mencari cerita bergambar di let's read untuk level 1 atau mungkin level 2 yang masih belum didominasi sama narasi. 


Lalu kalau aku ingin mendongeng pakai bahasa Inggris, aku tinggal cari cerita bergambar di let's read yang narasinya pakai bahasa Inggris. 


Asyik kan, Bund? Yup. 


Menghidupkan Dongeng di Rumah Agar Anak Suka Membaca


Menghidupkan dongeng di rumah


Nah, akhirnya aku pun mencoba mendongeng untuk anakku. Dongeng tentang hujan. 


Sebelum mendongeng, aku sudah baca buku cerita bergambar tentang hujan ini berkali-kali sampai aku hampir hafal. 


Awal mulanya mendongeng, aku sempat deg-deg an gitu, Bund. Tapi melihat anakku antusias, rasa grogiku pun berangsur-angsur hilang, Bund, alhamdulillah. Aku pun jadi semangat mendongeng. 


Bund, setelah aku mendongeng untuk anakku itu, Alhamdulillah, dia jadi minta didongengi lagi dengan cerita yang berbeda. Aku senang, Bund. Trus aku makin senang dan bersyukur manakala anakku mau mendongeng untukku. Dan aktivitas mendongeng pun hidup di rumah. Yeaaaayyyyyy....




Praktik mendongengku untuk yang pertama kali Alhamdulillah langsung berhasil, Bund. Hasilnya berupa adanya peningkatan minat baca anakku meskipun belum signifikan tapi lumayan lah tinggal ditingkatkan lagi dengan cara tetap menghidupkan dongeng di rumah.  


Bund, aku harap usahaku menghidupkan dongeng di rumah demi membuat anakku suka membaca bisa sukses dengan gemilang. Do'akan aku ya, Bund. Do'a baik akan kembali pada yang mendo'akan. Makasih banyak, Bundaaaaaaa.


So, yuk Bund, kita hidupkan lagi dongeng di rumah bersama dengan let's read. Jangan lupa instal atau unduh aplikasi let's read ya, Bund. 


Sekian cerita aku kali ini, Bund. Next, kita ketemu lagi ya, insyaAllah, di cerita-cerita lainnya. 


Stay health, Bund. 

See yaaaa.

***

Referensi:

Fitriani, Erlin. 2014. Strategi Menumbuhkan Minat Baca Anak Melalui Dongeng di TKIT Taruna Teladan Delanggu Klaten. Skripsi. UIN SUKA.

Putri et al. 2015. Pemanfaatan Teknik Mendongeng Untuk Meningkatkan Minat Baca SiswaKelas III SD Kartika IX-1 Kabupaten Jember Tahun Pelajaran 2014-2015. UNEJ. ARTIKEL ILMIAH MAHASISWA, 2015, I (1): 1-4.

Ade Indra Kusuma dan Firsta. 2019. Dongeng Ternyata Ampuh Tumbuhkan Minat Baca Anak.  Suara.com (diakses 5 Januari 2021)

Yohannes. 2018. 6 Manfaat Mendongeng untuk Anak. Kompas.com (diakses 5 Januari 2021)

Redaksi Koran Sindo. 2018. Mendongeng, Cara yang Baik Menanamkan Nilai dalam Keluarga. edukasi.sindonews.com (diakses 8 Januari 2021)

Facebook  Twitter  Google+ Yahoo