Layaknya kasih seorang ibu, alam selalu hadir untuk kita dalam kondisi
apapun, saat bahagia atau lara. Bahkan saat kita sudah melakukan perbuatan yang
tidak baik kepada alam sekalipun, ia tetap mau memeluk kita, erat dan hangat.
Namun, kadang, kita lupa akan kasih sayang yang diberikan alam. Kita
lupa bahwa oksigen yang kita hirup, air yang kita minum, dan rasa bahagia yang
hadir saat kita melihat birunya langit, gemerlap bintang, putihnya awan,
gemericik air, hingga kicauan burung, semuanya berasal dari alam.
Bayangkan jika alam tidak lagi hadir untuk kita. Bayangkan jika alam
tidak lagi memberikan oksigen untuk kita. Bayangkan jika alam akhirnya membiarkan
kita berselimut polusi. Akan seperti apa kita jika hal tersebut terjadi? Apa
yang akan kita alami jika kita berselimut polusi?
#SelimutPolusi
Menurut LAPAN, polusi udara adalah pencemaran pada udara dengan
hadirnya berbagai bahan pencemar di luar ambang batas. Salah satu bahan
pencemar udara tersebut adalah CO. Mari kita berkenalan dengan CO.
Unsur kimia CO atau juga yang dikenal dengan Karbon monoksida (CO)
adalah gas yang tidak berwarna, tidak berasa, tidak mengiritasi dan tidak
berbau. Gas ini dihasilkan melalui pembakaran gas, minyak, petrol, bahan bakar
padat atau kayu. Lebih lanjut, BPOM menyebutkan bahwa terbentuknya gas CO
berasal dari kebakaran, tungku, pemanas, oven dan mesin. Nah, dari informasi ini
bisa dibilang aktivitas yang kita lakukan sehari-hari pun berpotensi
menghasilkan karbon monoksida. Mulai dari aktivitas kita berkendara, membakar
sampah, mandi pakai pemanas air, bahkan dari aktivitas kita memasak pun bisa
menghasilkan karbon monoksida. Waduh.
Jika Berselimut Polusi, Apa yang Akan Kita Alami?
Malam datang. Hawa dingin sebab kehujanan sepulang kerja masih lekat di
badan. Mau tidur tapi rasanya tak nyaman. Tanpa berpikir panjang, tanganpun
tergerak untuk mengambil sesuatu yang dapat menghadirkan hangat di badan.
Sesuatu itu apalagi kalau bukan selimut.
Ya, sejatinya, selimut berfungsi untuk memberikan rasa aman, rasa aman
dari dingin yang menyerang. Namun ini tidak berlaku bagi selimut yang berbahan
polusi. Bukannya mendatangkan rasa aman, namun malah mengundang dampak negatif
bagi alam.
Selimut polusi memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan kita.
Selimut polusi berdampak pada kesehatan kita juga berkontribusi secara langsung
pada perubahan iklim.
Jika Berselimut Polusi, Sehat Jadi Susah Diraih
Selama ini, kita dimanjakan alam. Kita diberikan selimut oksigen yang
melimpah. Sehingga kita pun bisa beristirahat dengan nyaman. Bayangkan jika
selimut dari alam itu berganti menjadi selimut polusi. Bisakah kita beristirahat
dengan nyaman saat menggunakan selimut polusi dengan bahan pencemar karbon
monoksida misalnya? Boro-boro bisa tidur nyaman, yang ada malah jadi susah
tidur sesak nafas dan sebagainya.
Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa karbon monoksida adalah salah
satu bahan selimut polusi. Karbon monoksida ini adalah bahan pencemar yang amat
berbahaya. Saking bahayanya sampai mendapat julukan sebagai sillent killer.
Dari alodokter menjelaskan bahwa karbon monoksida ini seperti oksigen. Ia mudah
dihirup dan mudah terikat dengan hemoglobin sehingga dapat membentuk carboxyhaemoglobin
(COHb) pada darah. Jika jumlah COHb makin banyak, maka jumlah oksigen dalam
darah pun akan berkurang.
Menurut OSHA ( (Occupational Safety and Health Administration),
batas aman menghirup karbon monoksida yakni sekitar 35 ppm untuk waktu 8
jam/hari kerja. Lalu kadar yang dianggap langsung berbahaya terhadap kehidupan
atau kesehatan adalah 1500 ppm (0,15%). Namun jika terpapar kadar CO 1000 ppm
(0,1%) selama beberapa menit saja maka dapat menyebabkan 50 % kejenuhan dari
karboksi hemoglobin dan dapat berakibat fatal. Jika melihat tabel gejala
terpapar karbon monoksida yang dibuat oleh BPOM, kondisi fatal seperti itu bisa
jadi disebabkan oleh banyaknya konsentrasi CO dalam darah yakni sekitar 70%
hingga 80% .

Bahan selimut polusi yang satu ini terbentuk dari hasil pembakaran.
Sehingga bisa ditemukan di aktivitas kita sehari-hari. Namun tidak semua
aktivitas kita menghasilkan karbon monoksida yang banyak, kan? Seperti saat
kita melakukan aktivitas memasak. Kita bisa menemukan banyak karbon monoksida
saat berkendara dan sedang terjebak macet. Jika dalam kondisi seperti ini,
masker adalah penyelama bagi pengendara motor dari terkena penyakit infeksi
pernapasan akut (ISPA).
Sebenarnya, masker tak hanya cukup digunakan saat berkendara motor dan
terjebak macet. Masker harus digunakan selama berkendara. Karena menurut hasil sebuah penelitian yang berjudul Driving
Behavior and Mileage with The Incidence of ISPA in Students UNAIR Surabaya, disebutkan bahwa risiko ISPA pada pengemudi motor terkait juga dengan
perilaku/kebiasaan dan jarak tempuh. Pengemudi motor yang tidak menggunakan
masker saat berkendara berpotensi terkena ISPA. Pengemudi motor yang berkendara
cukup lama juga rentan terkena ISPA.
Melansir dari National Geographic, pada tahun 2019, beberapa wilayah di
Indonesia pernah berselimut polusi. Polusi udara saat itu disebabkan oleh
kebakaran hutan yang luar biasa. Bahkan di wilayah Sumatera Selatan saja
ditemukan 1.297 titik api.
Saat itu, langit berubah kelabu. Putihnya awan, birunya langit,
berganti dengan kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan. Kejadian ini
membuat banyak orang mengungsi dan lebih dari 900 ribu orang terkena ISPA.
Dari kejadian itu saja, rasanya, sudah bisa tergambar dengan jelas apa
yang akan kita alami jika kita berselimut polusi. Kita mungkin akan dihantui
ISPA atau penyakit terkait pernapasan lainnya. Sehingga untuk mengatasi ini, mungkin
kita akan membawa alat bantu pernapasan yang berisi oksigen kemanapun kita
melangkah.
Jika Berselimut Polusi, Dampak Perubahan Iklim Makin Menjadi-jadi
Perubahan iklim terjadi dikarenakan selimut polusi. Selimut polusi membuat
bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim.
Panas yang terperangkap di bumi ini membuat suatu perubahan yang luar
biasa yang mempengaruhi segala lini kehidupan manusia. Perubahan tersebut yakni
perubahan iklim.
- Perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana alam
Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan
pola cuaca. Hijauku(dot)com suhu di bumi meningkat 0.850C derajat di
setiap wilayah. Naiknya suhu bumi menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim seperti
curah hujan yang tinggi di suatu wilayah tertentu hingga mengakibatkan bencana
alam berupa banjir, maupun tanah longsor. Sementara itu ada wilayah yang malah
tak kunjung disapa hujan. Jika kondisi ini berlangsung lama, wilayah ini pun
bisa mengalami kekeringan.
Dulu, aku sempat terheran-heran kalau ada berita yang isinya tentang
banjir di wilayah A, sedangkan di wilayah B malah kekurangan air. Padahal 2
wilayah tersebut berada di satu negara yakni Indonesia yang mana pada saat itu
Indonesia berada di musim penghujan. Belakangan, aku akhirnya tahu, bahwa
perbedaan yang signifikan ini dikarenakan perubahan iklim. Jauh banget bedanya
yak.
- Perubahan iklim mempengaruhi kondisi ekonomi
Dulu, para petani dengan senang hati menyambut musim hujan. Karena
petani merasa terbantu. Sebab tugas mengairi sawah diambil alih oleh hujan.
Namun saat ini, senang sedikit memudar. Karena bercampur dengan rasa was-was
sebab cuaca ekstrem. Jangan-jangan hujan yang turun tidak hanya mengairi melainkan
malah membanjiri sawah. Jika sawah terendam banjir, maka para petani pun
berpotensi merugi.
Cuaca tak menentu juga mempengaruhi kondisi ekonomi petani. Hal ini
pernah dialami oleh para petani di Lebak pada tahun 2013. Saat itu produksi
panen padi petani merosot tajam dikarenakan bergesernya waktu musim hujan.
Tak hanya petani, pelaku ekonomi lainnya pun bisa saja mengalami keterpurukan
manakala bencana alam sebab perubahan iklim datang melanda. Dari Katadata,
diketahui banjir masih menjadi
bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia yakni sebanyak 946
kejadian. Jumlah itu setara 39,44% dari total kejadian bencana hingga awal
September tahun ini.
Bencana alam lainnya yakni Cuaca ekstrem juga melanda tanah air dengan
jumlah kejadian mencapai 799 pada periode yang sama. Berikutnya, diikuti 427
kejadian tanah longsor, dan 186 kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Dengan kondisi seperti ini, secara otomatis mempengaruhi kondisi
ekonomi daerah-daerah yang mengalami bencana alam. Bahkan mungkin berimbas pada
kondisi ekonomi daerah lainnya. Bencana alam datang begitu saja tanpa memilih
siapa yang akan dihampiri.
- Perubahan iklim mempengaruhi kondisi kesehatan
Di awal musim hujan tahun ini, beberapa wilayah mengalami cuaca ekstrem.
Salah satunya tempat tinggalku, Jembrana Bali, yang sempat terkena banjir.
Banjir ini bahkan sempat melumpuhkan jembatan penghubung menuju Denpasar.
Salah satu penyebab banjir tersebut terjadi karena curah hujan yang
tinggi dan berlangsung sehari semalam. Suhu pun mendadak dingin saat itu. Aku
yang biasanya tidur bisa kelesotan di lantai, saat itu, memilih tidur di kasur.
Ademmm.
Banjir tersebut pasti meninggalkan genangan air entah di sudut mana
saja. Genangan-genangan air ini bisa dijadikan sebagai tempat bertelur bagi
nyamuk, termasuk nyamuk berbahaya seperti DBD dan Malaria. Ini adalah salah
satu penyebab meningkatnya jumlah pasien DBD terutama di daerah yang mengalami
banjir.
Gangguan kesehatan juga terjadi di musim kemarau. Kalau untuk di kota
besar seperti Jakarta, kata BMKG, suhu di musim kemarau bisa sampai 360C. Nah, tubuh kita ini bereaksi terhadap
kenaikan suhu. Adapun bentuk reaksinya yakni dengan cara meningkatkan aliran
darah ke kulit. Proses ini bertujuan untuk membawa panas yang berasal dari
dalam tubuh ke permukaan. Proses ini akan menghasilkan keringat yang kemudian
menguap. Jika keringat sudah mulai menguap maka proses mendinginkan tubuh pun
dimulai.
Keluarnya keringat dari dalam tubuh ini membawa serta cairan tubuh dan
garam. Kekurangan cairan tubuh dan garam, maka kita berpotensi mengalami
penurunan tekanan darah yang menyebabkan kelelahan tubuh akibat panasnya udara.
Gejalanya meliputi pusing, mual, pingsan, kebingungan, kram otot, sakit kepala,
banyak berkeringat, dan kelelahan. Apabila tekanan darah menurun terlampau
jauh, risiko serangan jantung pun meningkat. Nah loh nah loh bisa separah ini
ternyata dampak dari meningkatnya suhu yang biasanya terjadi di musim kemarau.
- Perubahan iklim mempengaruhi gaya hidup
Kalau mengingat masa kecil dulu, rasanya, tidak pernah mengalami rasa
panas yang luar biasa saat ini. Dulu, kemana-mana, masih asyik aja naik onthel
alias sepeda angin. Sekarang kemana-mana naik sepeda motor. Dulu, satu
pohon mangga yang ditanam di depan atau sekitar rumah sudah cukup menghalau
udara panas di siang hari. Sekarang, menghalau panas tak cukup hanya satu pohon
mangga, melainkan di bantu dengan kipas angin yang diletakkan di beberapa
bagian rumah. Dulu, pergi kemana-mana di siang hari bisa langsung makwer
berangkat begitu saja. Sekarang kalau mau keluar di siang hari mah harus
dilengkapi dengan peralatan penghalau radiasi sinar matahari. Mulai dari pakai
baju panjang hingga memakai sunscreen. Apa yang terjadi ini adalah salah
satu dampak dari perubahan iklim.
Tanpa disadari, perubahan iklim berhasil mengubah gaya hidup kita. Contoh
di atas adalah salah satu dari segambreng perubahan gaya hidup yang cukup
signifikan. Dan ya kalau dipikir-pikir, kita mengeluarkan lebih banyak uang
untuk menghadapi perubahan iklim ini.
Nah itulah secuil dampak dari adanya selimut polusi. Yang paling parah
dampak dari selimut polusi yakni memberikan sumbangsih pada perubahan iklim.
Karena ya, perubahan iklim mempengaruhi segala lini kehidupan.
Tentu kita tidak menginginkan polusi menjadi selimut kita sehari-hari
bukan? Oleh sebab itu, yuk kita lakukan sesuatu demi membebaskan negeri ini
berselimut polusi.
Cara Agar Terbebas dari Selimut Polusi
Ada banyak hal negatif yang terjadi dikarenakan selimut polusi. Jika
tidak segera bertindak, takutnya, selimut polusi ini bisa berubah jadi pakaian,
pakaian polusi. Kalau sudah seperti ini mah mau pergi kemanapun, pasti bakal
merasakan polusi.
Sebagai penderita asma, aku tahu bagaimana rasanya saat tiba-tiba susah
bernapas karena terkena paparan asap kendaraan dari knalpot, hingga asap dari
pembakaran sampah. Ya, terpapar sebentar saja, kadang sudah berhasil membuatku
susah bernapas. Bawaannya ingin segera menghindar sejauh mungkin dan mencari
udara segar, biar napas kembali lega. Nah, aku tidak ingin siapapun mengalami
kejadian susah bernapas secara tiba-tiba seperti yang aku alami. Nggak enak
banget Ya Allah, sungguh.
Untuk mewujudkan keinginan untuk terbebas dari selimut polusi, aku melakukan
beberapa usaha seperti menanam pohon dan memilah sampah rumahku. Tapi kalau
dipikir-pikir, usahaku yang secuil ini, mungkin hanya bisa memberi hawa segar
bagiku, keluarga, atau mungkin juga tetangga (semoga). Apa yang aku lakukan ini
belum memberikan dampak positif bagi orang banyak.
Namun, jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, sekarang sudah
banyak #MudaMudiBumi yang peduli dengan kondisi bumi. Salah satunya muda-mudi
di #TeamUpForImpact . Aku benar-benar bersyukur tiada tara karena masih ada
banyak orang yang mau berusaha sekuat tenaga pantang menyerah untuk menjaga
bumi. Mereka tanpa henti berinovasi, berkreasi untuk menyelamatkan bumi. Ibarat
kata #UntukmuBumiku ..... apapun akan ku tempuh.
Apa yang dilakukan #MudaMudiBumi ini membuatku terinspirasi ingin
melakukan sesuatu hal yang lebih dari yang sudah biasa aku lakukan. Ya, aku
ingin melakukan hal yang lebih, lebih, lebih dari ini. Ah andaikan saja aku
punya semacam kesempatan membuat kebijakan untuk mengurangi polusi demi
mengatasi perubahan iklim, maka ada beberapa hal yang aku lakukan.
1. Melarang hutan dijadikan sebagai lahan pertanian atau apapun itu dan
memberikan hukuman berat bagi penebang pohon ilegal, serta pembakar hutan.
Kondisi hutan negeri ini sedang memprihatinkan karena penebangan liar,
pembakaran hutan, hingga diubah jadi lahan pertanian kelapa sawit misalnya.
Akibatnya luas hutan berkurang secara signifikan. Melansir dari IDNTimes
mengenai rincian deforestasi hutan Indonesia menurut Greenpeace Indonesia.
Deforestasi terjadi di 629.2 ribu hektare pada 2015-2016, 480 ribu hektare
pada 2016-2017, 439.4 ribu hektare pada 2017-2018, 462.5 ribu hektare
pada 2018-2019, dan 115.5 ribu hektare pada tahun 2019-2020.
Oleh karena luas hutan yang berkurang secara signifikan tersebut, maka
perubahan iklim pun semakin menjadi-jadi. Padahal hutan Indonesia menjadi salah
satu andalan dunia untuk menjaga bumi. Hutan Indonesia adalah paru-paru dunia.
Berdasarkan hal ini, demi menjaga bumi, #UntukmuBumiku , maka kebijakan
yang akan aku buat yakni aku akan melarang hutan dijadikan sebagai lahan
pertanian atau apapun itu dan memberikan hukuman berat bagi penebang pohon ilegal,
serta pembakar hutan.
2. Memperbanyak hutan kota,
Ada satu momen yang aku ingat betul saat diberlakukan WFH demi
menghentikan penyebaran virus covid-19. Momen tersebut yakni saat aku melihat
banyak yang share tentang baiknya kondisi udara di tempat tinggal mereka
masing-masing. Beberapa ada juga yang share foto langit biru yang mereka ambil.
Jika dipikir-pikir, direnungi, diresapi, hal itu bisa mereka rasakan
karena tidak adanya selimut polusi. Selimut polusi yang berasal dari asap
kendaraan.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi selimut polusi terutama di kota-kota
besar adalah dengan memperbanyak hutan kota. Mengapa demikian? Hutan tidak
hanya memiliki kemampuan menyimpan air. Hutan mampu memproduksi oksigen untuk
makhluk hidup yang ada di sekitar hutan. Hutan juga memiliki kemampuan menyerap
gas bahan pencemar. Lawong karbondioksida saja, yang merupakan salah satu dari
bahan pencemar udara, mereka jadikan bahan untuk membuat makanan. Luar biasa
bukan? Tak ingin menyia-nyiakan kemampuan hutan yang luar biasa ini, maka
kebijakan yang aku buat yakni memperbanyak hutan kota.
3. Aktif mendukung #MudaMudiBumi
Bapak Ir. Soekarno pernah bilang, “Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan
aku goncangkan dunia.”
Ucapan dari Bapak Bangsa ini menunjukkan betapa bisa diandalkannya
kemampuan para pemuda bangsa. Apapun tujuannya, jika dipegang oleh para pemuda,
maka peluang untuk mencapai tujuan pun terbuka lebar. Salah satu buktinya yakni
momen Sumpah Pemuda. Pada saat itu, para pemuda bersumpah untuk setia pada
bangsa Indonesia, satu tanah air Indoneisa, satu bangsa Indonesia, dan satu
bahasa Indonesia. Sejak lahirnya sumpah pemuda, persatuan bangsa pun semakin
erat dan solid. Tak ada kata menyerah untuk meraih merdeka. Mereka bersatu
merumuskan strategi. Mereka tahu risiko dari apa yang mereka lakukan. Tak
gentar sedikitpun. Mereka rela dan siap kehilangan nyawa. Mereka terus berusaha
hingga akhirnya merdeka bisa mereka raih dengan sempurna. Alhamdulillah wa
syukurillah.
Terinspirasi dari peristiwa sejarah ini, maka tak ragu rasanya untuk
memberikan dukungan pada #MudaMudiBumi untuk beraksi menjaga bumi.
Kebijakan-kebijakan yang aku buat tak akan lepas dari aspirasi dan aksi mereka.
Aku yakin, jika #MudaMudiBumi mendapat dukungan penuh, tujuan mereka untuk
menjaga bumi akan tercapai dengan maksimal pula.
Jadi seperti itulah yang akan aku lakukan jika aku diberikan kesempatan
membuat kebijakan untuk mengurangi polusi. Kalaupun aku tidak mendapatkan
kesempatan tersebut, insyaAllah aku akan tetap melakukan 3 hal tersebut sesuai
dengan kemampuanku sendiri. Salah satunya seperti ini nih, membuat tulisan
tentang selimut polusi, perubahan iklim, dan pentingnya menjaga hutan.
Aku menaruh harap sebesar-besarnya bahwa tulisanku ini bisa menjadi
pengingat bagi para pembaca untuk tak lupa melakukan aksi menjaga bumi. Jika
boleh berharap lebih tinggi, semoga tulisanku ini menjadikan jumlah muda-mudi
peduli bumi semakin bertambah banyak. Semakin banyak muda-mudi yang peduli pada
bumi, tentu kondisi bumi akan segera terjaga dengan baik. Hopefully.
Akhir kata, mari kita jaga bumi. Jika belum bisa all out menjaga, tak masalah,
asalkan ikhtiar terus pantang menyerah, sesuai dengan kemampuan diri. Jangan
lari dari bumi. Jangan pernah lupa betapa baiknya alam pada kita. Karena alam
tak pernah pergi meninggalkan kita.
***
Referensi:
https://lapan.go.id/post/7138/polusi-udara-penyebab-dampak-dan-bagaimana-penanganannya
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/76/Keracunan-yang-Disebabkan-Gas-Karbon-Monoksida.html
https://nationalgeographic.grid.id/read/131864595/jumlah-penderita-ispa-akibat-karhutla-capai-919516-orang-di-bulan-september
https://theconversation.com/kebakaran-hutan-makin-mengancam-kesehatan-penduduk-indonesia-dari-iritasi-hingga-potensi-kanker-124112
https://journalreportase.com/penderita-penyakit-ispa-alami-peningkatan/
https://indonesia.un.org/id/172909-apa-itu-perubahan-iklim
https://www.antaranews.com/berita/2791709/wmo-dampak-perubahan-iklim-terlihat-dari-cuaca-ekstrem-di-dunia
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-62177681
https://radarmalang.jawapos.com/malang-raya/kota-batu/25/09/2022/warga-bulukerto-trauma-sambut-musim-hujan/
http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php/berita/info-aktual/1294-tahun-sedih-petani-padi-lebak
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/06/2398-bencana-alam-terjadi-di-ri-hingga-awal-september-2022-ini-rinciannya
https://news.detik.com/berita/d-5158222/puncak-kemarau-september-suhu-udara-maksimum-terjadi-di-waktu-ini
https://www.liputan6.com/news/read/4263760/bmkg-musim-kemarau-suhu-maksimum-jakarta-capai-36-derajat-celcius
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/09/nasa-suhu-permukaan-bumi-naik-085-c-pada-2021
Journal.unair.ac.id. Diakses pada 2020. Driving Behavior and Mileage
with The Incidence of ISPA in Students UNAIR Surabaya